Breeding Ground 21

2.3K 387 29
                                    

Breeding Ground 21

Takkan pernah ia lupakan momen pertamanya melihat sang Nyonya. Emily Harcourt yang sekarang menjadi Mr.s Wallen berada dalam ruangan berjendela rosetta tujuh warna. Di ruangan itu Emily bersantai di atas sofa bertutup brokat, gaun rumahnya yang penuh gaya mengembang lembut, mawar segar menghiasi rambut yang lurus menutup bahu dengan begitu sensual. Sang suami, Mr. Wallen, memuja istrinya di kursi lain sembari melantunkan puisi Byron dengan suara serak:

She walks in beauty, like the night

Of cloudest climes and starry skies;

And all that's best of dark and bright

Meet in her aspect and her eyes.

Sinar yang memancar dari jendela berlimpah ruah; cahaya bagai sentuhan pelangi pada sosok Emily. Di rambut hitam legam yang berkilauan, di kulit putih yang secemerlang pualam. Selarik puisi Byron tersebut tam­pak dibuat untuk menggam­barkan Emily Wallen—beliau memiliki kualitas terbaik yang mewakili gelap maupun terang seorang wanita.

Perasaan ragu dalam diri March langsung hilang begitu sang pelayan baru melangkahkan kaki ke dalam ruangan itu dan melihat majikannya. Sirna terkena pendar.

.

March memuja Nyonya Emily Wallen dari kali pertama mereka berjumpa. Hanya demi beliau ia mau berusaha menjalani keseharian yang keras ini. Hidup sebagai dayang tak mudah bagi orang baru tak berpengalaman sepertinya—nyinyiran pelayan lain mengesalkan dan tatapan mereka tak menyenangkan. Bahkan dayang lainnya pun memperlakukan March sebagai orang rendahan, bukan kolega apalagi teman sepekerjaan. Tapi siapa peduli pada lalat-lalat di udara, ketika March bisa melayani wanita secantik Nyonya dari pagi hingga malam? Dari ia terjaga sampai kembali tidur?

Tahu betul March bahwa dirinya tidak berkemampuan sebagai dayang. Tidak jago menjahit ataupun menata rambut, tidak bisa merawat linen, juga payah dalam memilih aksesoris. Meskipun begitu, kesetiaannya pada Nyonya nomor satu. Apapun itu, akan March berikan pada Nyonya. Dada ini pun bolehlah dibelah dan persembahkan jantungnya di atas pinggan perak, jika itu yang diinginkan sang majikan.

Mungkin karena itu, March cepat sadar bahwa Emily tak bahagia. Meski selalu murah senyum dan ceria, entah kenapa Emily Wallen seringkali tampak sengsara. Ada noktah yang selalu menoda. Padahal tak ada alasan baginya untuk sengsara; suaminya mencintai dan melakukan apa saja untuknya, ia cukup berharta, dan rupa dirinya pun tergolong istimewa.

Hal ini makin terlihat ketika pasangan Wallen sudah pulang dari kunjungan satu minggu ke Hampshire. Nyonya Emily jadi lebih sering mengurung diri di ruangan favoritnya yang berjendela Rosetta. Tetapi tidak banyak yang menyadari bahwa ada sesuatu yang salah, karena sebelumnya beliau juga sering mendekam di sana. Hanya March yang menyadari, bahwa sang Nyonya menjadi sunyi.

Kala merenung di sana, Emily tak lagi bersenandung ataupun berkicau. Tak menggerakan jari-jarinya yang seputih patin. Tidak menjahit, membaca, ataupun mengudap sebutir gula-gula. Hanya meminum anggur yang bahkan tidak dicampur air. Mabuk-mabukan, istilah yang lebih tepatnya. Tetapi minum-minum yang tidak disertai tantrum ataupun perlakuan meresahkan, bahkan di saat mabuk pun sikapnya memikat, sehingga tidak ada yang terlalu awas. Kecuali March, yang merasa bahwa ini mengkhawatirkan.

Pada akhirnya March memberanikan diri, walau agak lancang. Ia masuk ke dalam ruangan tanpa diundang, Sosok Emily yang sendu terkulai di pembaringannya, dengan gelas dan botol bergulir di dekatnya, begitu mengundang keharuan hingga March tak sanggup menutup mulut, Ada apa, Nyonya?

March, suara Emily berdenting. Tak marah diganggu, malah terlihat lega akan ada yang menemani. March apa kau pernah jatuh cinta pada seorang alpha pria?

Breeding Ground [Victorian Omegaverse/NOW ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang