Breeding Ground 15

3K 516 146
                                    

Codrington menyibak kemeja putih Harcourt. Di sana, di permukaan punggung melandai, terdapat gurat dan sayat; bebe­rapa lebih baru dibanding yang lain, luka-luka torehan pisau. Napas dan kata-kata sang lord muda tersumbat di tenggorokan. Pemandangan ini terlalu menye­dihkan. Tak ada satupun yang pantas menyandang kekejaman seperti itu. Tidak ada.

Harcourt mendorong Codring­ton dan merapatkan kemeja di tubuhnya, lalu menutup diri. Luka-luka itu. Rahasia yang disandang dan ditutupi.

Beban mental yang diberikan sayatan-sayatan itu tentu beda dengan lebam-lebam masa remaja. Di masa yang brutal se­perti ini, di mana hubungan darah dianggap sebagai tanda kepemilikan, orang tua memang sering sekali memukul anak-anaknya. Tetapi memutilasi tubuh seperti itu? Mengguratkan pisau di daging dengan sengaja seperti itu? Tidak salah jika Codrington luar biasa marah.

Paras yang tampan itupun beru­bah merah, terlipat-lipat, otot-otot wajahnya mengerut. Bau alpha mengucur deras dan tak terbendung, diperas naluri alami untuk melindungi.

Orang di hadapannya ini bukan lagi George Harcourt yang dingin, rivalnya, musuhnya bertahun-tahun yang selalu membuatnya merasa tak bernilai, bukan George Harcourt yang per­nah menampik ajakannya berkawan. Orang yang ada di hadapannya ini adalah George Harcourt, yang seringkali mene­rima perlakuan tak adil, yang diam menanggung hukuman untuk kesalahan para kawan, yang memperbaiki buku-buku rusak dengan ketelatenan seo­rang ahli, yang mungkin...

"Harcourt." Codrington mulai meremas kedua bahu Harcourt. "Beritahu aku siapa."

Harcourt berpaling, menghindar, dadanya yang telanjang di balik kemeja naik turun. "Tidak ada yang perlu diberitahu."

"Harcourt. Terserah kau mau bilang apa. Luka-luka itu baru. Pasti kau dapatkan setelah lulus sekolah." Codrington menekan.

Semasa sekolah, ia dan Richard Melville tahu bahwa Harcourt se­ringkali terluka di tempat-tempat tak terlihat seperti punggung dan perut, terutama setelah liburan sekolah usai. Saat itu mereka ber­dua tidak mengatakan apa-apa—atau lebih tepatnya, Harcourt tidak membiarkan dirinya sendiri dibantu. Tetapi sayatan-sayatan memanjang itu lain perkara; pasti bekas-bekas jahanam itu diterima Harcourt baru-baru ini, karena Codrington pertama kali melihat­nya. Padahal ayah Harcourt meninggal tak lama sebelum kelulusan. Jadi siapa yang melakukannya? Siapa lagi yang menyiksa setelah sang ayah tiada?

Harcourt diam dengan begitu keras kepalanya, tetapi semakin lama dicecar, semakin gamang wajah dan gesturnya, semakin tak fokus pandangannya.

Dalam kepanikan, Codrington mulai mengutarakan nama-nama—dan sesuai dugaan, nama paling pertama yang dicurigai adalah Arthur Harcourt. Ketika nama ini disebut, George Har­court meringis. Di situlah lord muda itu tahu asal lukanya.

Codrington jarang melihat Arthur Harcourt selepas lulus, sehingga sosok yang terpatri dalam benaknya adalah kenangan dari lorong-lorong Eton—Arthur Harcourt yang masih sekolah. Di situ ada sosok seo­rang senior dengan rambut hitam dan pandangan menyerong, yang tak segan-segan menghardik jika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginan bahkan dalam hal sesepele mentega di atas roti. Codrington mengingat Arthur Harcourt yang pernah memukul seorang junior yang melayaninya, karena meneteskan air ke buku.

Banyak anak-anak kelas bawah yang antipati. Tetapi Arthur Harcourt memang licik; tak pernah menampakkan burik di depan sebaya atau yang lebih tua. Kekejaman itu hanya muncul saat berhadapan dengan anak-anak yang lebih muda. Tipe orang yang takkan mengganggu singa tetapi menginjak-injak ulat di bawah kaki.

Cengkraman sang Lord mengetat mengingat hal itu.

"Dia melukaimu. Dia...dia yang melakukan kekejaman ini? Kakakmu sendiri?"

Breeding Ground [Victorian Omegaverse/NOW ENDING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang