BAB 1-Seperti Anak Kecil

183 46 50
                                    

Saat ini, langit tak ingin berbagi indah biru lautnya. Di atas bangunan yang menjulang menantang angkasa, gumpalan awan hitam berarak-arakan dari penjuru utara. Menabur tetesan cair sebening kristal yang siap memberi obat bagi tanah kota yang berteriak melepuh. Bulir demi bulir sejuk itu menembus pori-pori alam, meliuk di ceruk-ceruk kecil tanah.

Seakan tak ada hari esok, hasil dari fenomena kondensasi uap air di atmosfer itu terus menancapkan kaki-kaki mungilnya semakin rancak, walau para manusia bumi tak jarang mengumpati dan mengutuk kehadirannya.

Namun, berbeda dengan gadis berambut selengan yang terpejam di dalam mobil itu. Ia tampak sangat menikmati hujan pagi ini. Bunyi rintiknya bagaikan alunan simfoni klasik dari Ludwig van Beethoven yang menenangkan. Setiap bulir kesejukan yang langit sajikan pagi ini, ia nikmati tanpa melewatkan sedetik pun momen itu. Senyum cerah tak henti-hentinya terpatri di wajah ovalnya yang berponi. Kini ia merasakan ada sebuah kebahagiaan kecil yang menyusup di liang-liang hatinya ketika lelehan awan itu jatuh ke bumi. Hanya dengan menatap tetesan berpola petir di kaca bagian depan mobilnya, ia dapat merasakan keteduhan jiwa.

"Sudah lama," gumamnya lirih sambil menutup mata.

Sejak kecil Meiry, gadis manis itu sudah mencintai fenomena yang namanya hujan. Ia teringat waktu ia masih duduk di bangku SMP. Disaat teman-temannya berlarian takut seragam mereka basah, Meiry malah dengan sukarela membiarkan seragamnya bermandikan air hujan. Sampai-sampai karena tingkah kekanak-kanakkannya itu ia dikatai "gadis mendung" oleh teman sekelasnya. Padahal kan dia suka hujan. Kenapa teman-temannya malah menamainya gadis mendung? Entahlah.

Sekarang ia percaya kata para ahli psikolog bahwa kedewasaan seseorang bukanlah terletak pada usianya, tetapi justru pada sejauh mana tingkat kematangan emosional yang seseorang miliki. Usia hanya sekadar angka yang tertera dalam kartu identitas. Manusia saja yang terlalu terbelenggu menghitungnya, padahal itu hanya akibat dari waktu yang terus bergerak maju.

Meiry menyadari kelakuannya itu memang sangat tidak biasa. Tapi, mau bagaimana lagi. Ia tak bisa menahan keinginan hatinya yang menggebu-gebu untuk bermain hujan. Mau kata orang apa, ia tak peduli. Seperti sekarang ini.

"Kak Kara. Aku ke kantor jalan aja ya," kata Meiry tiba-tiba.

"Tapi Mei__"

Belum sempat kakaknya itu merampungkan kalimatnya, Meiry telah membuka pintu mobil dan berlari keluar meninggalkan lelaki dengan badan ramping yang duduk di kursi kemudi itu. Kara hanya bisa diam ternganga sendirian di dalam mobil. Ia tak mungkin mengejar adiknya yang bandel. Kalau ia keluar, nanti pakaian yang sudah rapi ia kenakan akan basah dan ia jadi tidak bisa bekerja. Jika dia mengejar dengan mobil, bagaimana bisa? Saat ini kan traffic light masih berwarna merah, bisa-bisa dia kena tilang polantas atau bisa juga nasib yang lebih buruk lagi menimpanya seperti kecelakaan lalu lintas. Ah, sudahlah. Lagipula Kara sudah terbiasa menghadapi keinginan aneh adiknya itu. Ia tak akan mengejar Meiry, Karena ia tahu adiknya itu memang maniak hujan.

Meiry melangkahkan kaki-kaki jenjangnya di trotoar jalan diiringi rintik hujan. Baru beberapa menit ia keluar dari mobil, tapi kini badannya sudah basah kuyup. Untung saja tasnya itu kedap air, jadi barang-barang di dalamnya tak akan ikut basah kuyup. Meiry merogoh ponsel di saku jaket biru tua yang ia kenakan. Ia kemudian membuka playlist musiknya, dan dalam sekali sentuh di layar ponsel canggihnya itu, lagu dengan judul Bahagia berkumandang dengan volume yang mampu menembus telinga orang sekitar.

Dengan langkah riang sambil sesekali melompat ala-ala sinetron, ia menuju kantornya yang kira-kira masih 300 meter jauhnya. Terbaca dari raut wajahnya, ia tampak sangat menikmati guyuran air hujan yang membentuk liuk-liuk anak sungai di sekujur tubuhnya itu. Dalam suasana seperti ini serasa berbagai masalah yang dipendamnya lenyap dihempaskan bau petrikor alami. Beban yang selama ini terpasung dalam tubuh, pikiran dan hatinya memberontak dari ikatan yang selama ini menjerat. Semuanya hilang sementara, menguap dari pucuk kepalanya. Sesekali bibir tipis merah mudanya bahkan terbuka melantunkan nyanyian.

Sanggraha [A World Behind The Clouds]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang