BAB 21-Bha, Tha, dan Yha

14 2 6
                                    

Setelah mendapatkan restu dari Aji Yasa, Meiry berjalan mengikuti Rahnu. Ia sudah sangat siap untuk menyapa Sanggraha. Sesungguhnya ia penasaran juga dengan dunia ini.

Sambil jalan-jalan ia akan mencari informasi tentang pintu antar dimensi itu, dan mungkin saja laki-laki pink di sebelahnya akan mau membantunya.

"Ayo naik!" seruan Rahnu membuyarkan lamunannya. Lelaki itu meminta Meiry naik di gandengan belakang sepedanya.

"Disini tidak ada sepeda motor atau mobil mungkin?" tanya Meiry.

"Apa itu?" tanya Rahnu balik dengan muka yang polos. Meiry senang sekali mendengar pertanyaan-pertanyaan bodoh itu. Itu adalah hiburan baginya.

Meiry tertawa. "Singkatnya itu kendaraan yang bisa bergerak sendiri, kamu tidak perlu lelah mengayuh seperti ini," jelas Meiry, entah sejak kapan bahasanya berubah menjadi aku-kamu, bahasa Sanggraha.

"Seperti becak?" tanya Rahnu.

"Apa disini ada becak?" Meiry kaget. Kemudian dibalas anggukan oleh Rahnu.

"Becak yang beroda tiga itu? Yang dibelakangnya ada seseorang pengemudi mengayuh?" tanya Meiry lagi, seakan ia tak percaya di dunia Sanggraha juga ada becak bahkan namanya tetap sama 'becak'.

"Iya betul, apa itu yang anda maksud Mahadewi?"

"Bukan, kalau sepeda motor atau mobil itu menggunakan mesin untuk menggerakkannya, tidak dengan tenaga manusia." Meiry berusaha memberi gambaran sejelas mungkin.

"Oh, tidak ada disini," sahut Rahnu ketika ia paham, dan seperti biasa tetap dengan wajah datarnya.

Dalam hati Meiry mendengus, tidak bisakah pinkboy di hadapannya ini lebih ramah padanya. Wajahnya selalu datar, apa ia takut memiliki kerutan? karena itu ia tak pernah tersenyum.

"Cepat naik! Apa yang anda tunggu?" seru Rahnu, ia sudah siap menunggangi sepedanya.

"Iya, iya sabar," Meiry langsung duduk di bangku boncengan. Dengan ragu ia menggenggam pinggang Rahnu, atau lebih tepatnya ia menggenggam baju Rahnu sebab ia memang ragu. Sepeda itupun bergerak menyusuri kota Sanggraha. Ternyata tempat yang sempat Meiry sebut sebagai desa, sesungguhnya adalah ibu kota Sanggraha.

Dalam kayuhan sepeda itu, keheningan menyelimuti keduanya. Meiry menyibukkan diri dengan menoleh kesana kemari, mengamati jalanan kota Sanggraha. Ternyata jalan disini sudah diaspal, dan di sekitarnya banyak orang yang lalu lalang juga mengayuh sepeda. Meiry berpikir, sepertinya sepeda adalah alat transportasi utama penduduk disini. Sungguh asri kota ini tak ada polusi, andai saja penduduk bumi bisa meniru penduduk Sanggraha, tentu saja jalanan Jakarta tak semacet sekarang.

Di kanan dan kiri jalan berjejer rumah-rumah warga Sanggraha, rumah itu tak jauh berbeda dengan rumah modern di bumi hanya saja lebih sederhana dan mengambil konsep lingkungan dimana halamannya dihiasi dengan rumput hijau, pohon atau bunga-bunga. Meiry terkekeh, ternyata bayangannya akan menemui rumah beratap jerami salah.

Sepanjang jalan Meiry juga sering menjumpai perkantoran, dinas-dinas, dan kantor polisi pun ada. Meiry heran, Sanggraha ini sangat mirip dengan kehidupan di bumi. Hanya beberapa teknologinya saja yang terbelakang.

Sesaat kemudian Rahnu tiba-tiba ngerem mendadak karena lampu lalu lintas tiba-tiba merah. Meiry yang tak siap di belakang sempat kehilangan keseimbangan.

"Pegangan yang kuat, anda bisa jatuh jika hanya menggenggam baju saya," suara serak itu memecah keheningan.

Meiry merasa mendapat pintu masuk untuk memulai perbincangan dengan si pinkboy.

"Kenapa?" tanya Meiry pura-pura tidak dengar.

"Berpeganglah dengan benar, anda menarik-narik baju saya dari tadi," ujar Rahnu dengan mata yang masih fokus pada lampu lalu lintas.

Sanggraha [A World Behind The Clouds]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang