Flashback on.
Awal pertemuan Brandi & Meiry
Meiry tampak menyetir mobil sendirian dengan muka panik. Ayah dan ibunya tengah pergi ke Surabaya karena ada undangan pernikahan dari saudara. Sedangkan Kara, masih tidak bisa ia hubungi. Tampaknya kakaknya itu sedang sibuk dengan pekerjaannya. Ia tancap gas mobilnya dengan kecepatan penuh, sambil sesekali menengok keadaan adiknya di kursi belakang.
Saat ini ia sedang menuju rumah sakit terdekat yang bisa ia tempuh. Di belakang, Vena tampak pucat pasi. Badannya tergolai lemah. Suhu tubuh Vena juga tinggi dan sekujur tubuhnya dipenuhi bercak-bercak merah.
Meiry menduga kalau Vena terserang DBD berdasarkan gejala yang dialami adiknya itu. Untuk meyakinkan diagnosanya, ia memutuskan membawa Vena ke rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut dan juga agar adiknya itu segera mendapatkan penanganan yang tepat.
Sesampainya di rumah sakit, Meiry membawa Vena ke Poli Umum terlebih dahulu untuk melakukan pemeriksaan awal. Mungkin saja Vena hanya menderita demam biasa dan bercak-bercak merah di tubuhnya hanyalah gatal-gatal biasa.
Setelah mengantri 15 menit, akhirnya tiba saat nomor antrian Vena dipanggil.
Meiry membantu Vena berdiri menuju ruang periksa. Setelah membuka pintu, di ruangan itu terlihat seorang dokter yang tampak masih muda tengah menunggu. Pada tanda pengenalnya tertulis dr. Brandi Soebarjoyo.
"Wah dokternya masih muda, tampan lagi," pujian itu tiba-tiba saja terbesit di benak Meiry.
"Selamat pagi. Silakan duduk," sapa Brandi seraya mempersilakan kursi yang ada di depan meja kerjanya.
"S-Selamat pagi dokter," jawab Meiry agak terbata. Dengan cepat Meiry menggelengkan kepalanya berusaha menghilangkan pemikiran anehnya tadi.
"Kenapa geleng-geleng seperti itu? Saraf lehernya kejepit ya?" tanya Brandi bermaksud bercanda.
"Hah? Saya enggak sakit dok," jawab Meiry dengan cepat dan nadanya begitu serius.
"Kalau kamu sehat-sehat saja, ngapain kesini? Jangan katakan kamu kemari hanya untuk melihat saya," ujar Brandi dengan percaya diri sambil mengedipkan salah satu matanya.
"Maksud dokter?" jawab Meiry sedikit terkejut dengan pernyataan aneh yang keluar dari mulut sang dokter. Ia yakin, ia tidak salah dengar. Awalnya ia sangat terpesona dengan kharisma dokter itu, tapi setelah telinganya mendengar kalimat barusan, ia menarik kembali pujiannya. Ingin sekali di menjawab "GR banget sih lo." Tapi naluri kesopanannya menghalangi dia untuk mengatakan kata-kata itu.
"Bukan apa-apa, lupakan," jawab Brandi diiringi tawa ringan. "Jadi siapa yang sakit?" sambung Brandi.
"Tentu saja adik saya. Apa dokter tidak melihat mukanya pucat sekali?" sahut Meiry sedikit ketus.
"Oh, jadi dia adikmu. Tapi kok enggak mirip ya?" jawab Brandi dengan tampang polosnya sambil memeriksa keadaan Vena.
"Dokter!! tolong profesional. Jangan bermain-main seperti ini," ujar Meiry dengan nada yang semakin meninggi. Brandi hanya diam saja dibentak seperti itu, seakan bentakan itu tidak berpengaruh sama sekali pada dirinya.
Karena Brandi diam saja selama pemeriksaan Vena, Meiry mulai merasa tidak enak. Apakah dirinya sudah terlalu berlebihan tadi, sampai-sampai ia tak sadar meninggikan suaranya pada sang dokter. Ia berusaha membuka pembicaraan.
"Dokter, emm begini. Adik saya menderita demam dan di sekujur tubuhnya terdapat bercak-bercak merah. Dia juga mengeluh merasakan nyeri di persendiannya. Saya rasa adik saya menderita DBD," jelas Meiry dengan nada yang semakin melemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sanggraha [A World Behind The Clouds]
FantasyMeiry, seorang gadis lulusan kedokteran yang memiliki kecerdasan pas-pasan berjuang menggapai mimpinya menjadi dokter yang kompeten. Ia harus melewati masa koasnya dengan sangat berat. Namun keberadaan Brandi kekasihnya, si dokter cerdas nan tampan...