BAB 14-Perih

26 7 5
                                    

Ketika pintu kamar 3311 dibuka, sosok Frena tampak sudah tergeletak di lantai tak sadarkan diri. Brandi secara refleks langsung saja berlari masuk dan mengangkut tubuh wanita itu ala bridal style.

Melihat aksi yang dilakukan Brandi, jujur hati Meiry meringis sakit. Mau bagaimanapun, tak bisa ia pungkiri kenyataan bahwa Frena adalah mantan kekasih Brandi. Namun, nalurinya sebagai dokter menghempaskan semua pikiran buruknya tadi. Saat ini nyawa seorang manusia lebih penting dibandingkan rasa cemburunya.

Brandi terpogoh-pogoh membawa Frena ke dalam mobilnya. Di kursi belakang, Meiry menemani Frena yang tergolai lemas sambil mengecek denyut nadi wanita itu. Sedangkan di kursi kemudi, Brandi dengan kecepatan penuh menyetir mobilnya menuju Graha Usada Hospital, rumah sakit terdekat saat ini.

Sesampainya di depan gedung Instalasi Gawat Darurat (IGD), Brandi langsung mengangkat tubuh Frena lalu masuk, ia juga memanggil beberapa perawat yang berjaga di depan agar segera mengambilkan brankar. Saking paniknya Brandi, ia sampai melupakan mobil hitamnya yang saat ini terparkir di depan dalam keadaan mesin masih menyala. Bahkan sepertinya Brandi juga lupa dengan Meiry.

Di belakang Meiry hanya membuntuti Brandi. Langkahnya mulai lemah. Posisinya saat ini seakan menjadi penonton adegan seorang lelaki yang berusaha menyelamatkan wanita yang disayanginya. Walau sudah sampai di IGD pun, Brandi masih tetap menemani Frena masuk ke ruang pemeriksaan. Tak bisa dibohongi raut wajah Brandi begitu mencerminkan rasa kekhawatiran.

Tiba-tiba Brandi meraih stetoskop yang sedang dibawa oleh juniornya. Ia kemudian memeriksa detak jantung Frena.

"Ambilkan ventilator!" seru Brandi.

Dokter dan perawat yang ada disana saling bertatapan. Mereka kebingungan haruskah menuruti perintah itu atau tidak. Sebab ini bukan tugas Brandi untuk melakukan penanganan pada Frena.

"Cepat ambilkan ventilator!" seru Brandi lagi.

Akhirnya perawat yang ada disana menurut pada Brandi, bahkan dokter yang saat itu bertugas tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun Brandi memang lebih senior di rumah sakit ini, ia tak berani mengambil alih pasien bila sudah dihandle Brandi langsung. Apalagi rekam jejak karir Brandi yang bisa dikatakan gemilang, sehingga semua staff di rumah sakit sudah tau sejauh mana kompetensinya.

Selagi para perawat menyiapkan ventilator, Brandi melanjutkan pemeriksaannya pada Frena. Ia mengambil alih sendiri mulai dari memasangkan infus, menyuntikkan obat, membantunya menggunakan ventilator, dan tindakan medis yang lainnya.

Apa yang dilakukan Brandi saat ini semakin membuat hati Meiry teriris. Meiry tidak kuat lagi. Semakin lama ia berada di ruangan itu, jiwanya semakin rapuh. Sekuat apapun ia berusaha mensugesti diri bahwa Brandi hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai tenaga medis, tapi tetap saja hatinya sakit. Sangat perih tapi tak terlihat. Akhirnya Meiry memutuskan keluar dan pulang saja, ia tak sabar ingin menangis di sisi pojok kamarnya. Mencurahkan segenap kegaduhan emosinya.

💉💉💉

Setelah 1 jam Frena dirawat, akhirnya ia siuman. Kini oksigen sudah bisa keluar masuk ke paru-parunya secara normal kembali. Ketika kelopak matanya terbuka, samar-samar bayangan seorang prialah yang pertama kali menyapa. Pria itu ialah Brandi, pacar pertama dan terakhirnya, setidaknya sampai detik ini.

Betul. Setelah dirinya memutuskan untuk pergi studi ke Paris, sejak saat itu ia tak pernah lagi menjalin hubungan serius dengan laki-laki lain. Entah mengapa bisa seperti itu, apakah karena ia terlalu fokus dengan pendidikannya atau memang belum ada yang bisa menggantikan sosok Brandi. Entahlah. Bahkan setelah lulus studi pun ia belum menemukan pria yang pas, mungkin itu karena dirinya terlalu workaholic selama ini.

Sanggraha [A World Behind The Clouds]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang