BAB 17-Nekat Berangkat

20 5 3
                                    

Sudah 2 jam lebih Meiry menunggu Bayu namun batang hidung lelaki itu tak kunjung muncul. Meiry mulai putus harapan terhadap Bayu.

Sesaat kemudian, Ghea akhirnya menjawab pesan Meiry, langsung saja mereka melakukan video call. Semua yang terjadi ia ceritakan pada Ghea. Dengan berbagi kesedihan seperti ini, setidaknya membuat Meiry merasa lebih lega. Walaupun sebenarnya Ghea tak ada memberi solusi, hanya mendengarkan ceritanya saja, tapi itu sudah cukup ampuh menghilangkan sesak yang sedari tadi memasung dadanya.

Sayangnya, mereka tak bisa berlama-lama menghabiskan waktu sebab Abi, anaknya Ghea sudah merengek minta didongengkan tidur. Terpaksa sambungan telepon itu pun harus diputus.

Saat ini. sudah pukul 11 menjelang tengah malam. Meiry tak tahu harus melakukan apa, ia ingin kabur tapi tak ada orang yang akan menjemputnya. Tentu tidak mungkin ia meminta Ghea, sahabatnya itu sudah memiliki keluarga yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan Kicen sejak tadi ia coba hubungi namun tak kunjung ada respon, mungkin gadis itu tengah sibuk berkutat dengan pekerjaannya.

Ia terus berpikir mencari-cari orang yang sekiranya bisa membantu menjemput dirinya. Tiba-tiba, teleponnya berdering. Telepon itu ternyata dari Bayu, dan ia mengatakan sudah berada di depan villa.

Meiry tak menduga Bayu ternyata datang. Ia yang sudah mengemasi barang-barangnya buru-buru keluar lewat jendela kamar yang cukup lebar itu. Dia menjinjit kakinya pelan agar sedikitpun pergerakannya tidak diketahui oleh Brandi. Setelah berhasil keluar, Meiry langsung masuk ke mobil Bayu.

"Lo kok lama banget sih!" ungkap Meiry pada Bayu.

"Gue habis ke rumah teman dulu, terus nyasar deh nyariin villa ini," jelas Bayu.

"Oh gitu, sorry..." Meiry meminta maaf.

"Jadi kalian berantem saat liburan gini? Gara-gara mbak Frena?" tanya Bayu dengan gamblangnya.

"Ya begitulah," jawab Meiry dengan menaikkan pundak dan mengernyitkan ujung bibirnya.

"Terus lo mau kemana sekarang?"

"Antar aja gue ke hotel dekat sini," sahut Meiry.

"Oke," Bayu mengangguk sambil terus fokus menyetir mobil. "Terus lo pulang ke Jakarta gimana?" sambungnya.

"Gue pikirin nanti lah," jawab Meiry dengan enteng.

Jalanan yang mereka lalui ternyata sangat gelap dan sepi karena memang lokasi villa ini cukup terisolasi, diapit oleh beberapa perbukitan. Meiry menoleh ke kanan dan ke kiri, kemudian iseng melihat ke kursi belakang, disana ada sebuah tas penuh yang sangat besar.

"Itu apaan di belakang?" Meiry memecah keheningan diantara mereka.

"Oh itu tas carrier gue. Besok gue mau berangkat mendaki gunung Ciremai sama temen-temen gue. Udah lama gue enggak mendaki," terang Bayu.

"Gunung Ciremai dimana?"

"Deket sini," jawab Bayu.
"Gue memang hobi sih mendaki gunung, karena di atas tuh lo seperti ngerasa di surga. Pemandangannya indah banget. Cocok buat ngilangin stres dari pekerjaan," sambung Bayu dengan antusias.

"Gue boleh ikut enggak?" Entah kenapa Meiry tiba-tiba terpikir ide itu.

"Seriusan lo mau ikut?"

"Iya, gue kayaknya perlu juga refreshing deh. Mendaki gunung not bad lah," ujar Meiry.

"Lo pernah mendaki sebelumnya?"

"Kagak. Tapi gue sering olahraga lari keliling kompleks, jadi pasti gue kuat kok sampai puncak. Gue enggak bakal nyusahin lo." kata Meiry.
"Ajak gue ya, gue kan pingin juga ngerasain surga di atas sana," sambung Meiry yang disambut tawa kecil dari Bayu.

Sanggraha [A World Behind The Clouds]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang