BAB 20-Terperangkap

17 5 2
                                    

Pagi di kota metropolitan tak ada sapaan ayam berkokok, melainkan suara klakson yang bergemuruh di jalan raya. Ruas-ruas aspal hitam itu dipenuhi oleh kendaraan bermotor yang senantiasa mengepulkan asap karbon ke udara. Seakan menunjukkan superioritasnya, di sisi kanan dan kiri gedung-gedung yang menjulang berdiri dengan sombongnya. Beratus-ratus lantai dengan beribu-ribu kepala mendaki tiap tingkatnya.

Di salah satu gedung yang tak kalah elit dan menjulang tinggi, Frena tengah berdiskusi dengan seseorang. Atau mungkin debat sebab isi pikirannya tak satu tujuan dengan isi pikiran rekan bicaranya.

"Kita memang undur launching hari ini, kita turuti kemauan kamu. Tapi kamu tidak memberikan kepastian kapan tanggal penggantinya!" ujar seorang wanita dengan setelan kemeja dan jas. Wajahnya tampak sudah berumur namun didempul dengan make up dan lipstik merah marun yang sangat pekat.

"Maaf Bu, saya belum bisa menentukan. Sahabat saya kini tengah mengejar kekasihnya yang juga dibuat salah paham oleh rumor tak bertanggung jawab itu," sahut Frena dari tempat duduknya. Ia masih berusaha memperpanjang masa sabarnya.

"Kamu sudah tanda tangan kontrak dengan kita Frena. Kalau kamu melanggar perjanjian kontrak, kamu harus siap didenda!" pekik wanita itu dengan nada yang cukup tinggi.

"Kalau begitu kita launching saja di tengah gosip yang menyebar tentang saya. Bagaimana?" Frena mengajukan usul.

"Tidak bisa, rumor kamu pasti akan mempengaruhi penjualan produk," sanggah wanita itu. "Masyarakat pasti tak berminat membeli produk dari seseorang yang merebut laki orang," lanjutnya bergumam diiringi tatapan sinis yang mengintimidasi.

Frena merasa direndahkan dengan gumaman yang masih bisa ia dengar itu. Secara tidak langsung nenek peyot di hadapannya mengatai dirinya pelakor. Tapi ia tetap berusaha tampil elegan dalam menanggapi. "Lalu ibu ingin saya bagaimana? Memaksa sahabat saya untuk ikut press conference? Maaf saya tidak bisa. Dan tolong jaga perkataan anda ya! Saya tidak serendah itu!" Frena bangkit dan melangkah pergi.

"Kamu akan saya tuntut untuk denda Frena!" teriak ibu itu dengan sangat nyaring.

Mendengar itu Frena menghentikan langkahnya kemudian ia berbalik, "Silakan saja, saya lebih baik mengorbankan uang, dibandingkan mengorbankan sahabat saya! Dan satu lagi, saya tidak bisa berkerja dengan orang yang tidak menghargai saya!" balas Frena.

Frena melanjutkan langkahnya lagi sambil memakai kaca mata hitam yang sedari tadi tergantung di kantong blousenya. Ia berjalan dengan dagu yang terangkat, tak terima dengan orang di perusahaan ini yang sudah menghinanya.

Saat melangkah di beranda kantor brand ternama itu, layar LED besar yang menggantung di dinding mencuri perhatiannya. Sebuah breaking news tersiar mengabarkan hilangnya seorang pendaki di gunung Ciremai. Mendengar kata Ciremai, Frena langsung shock. Dengan tangan bergetar khawatir, ia segera menghubungi Brandi.

💉💉💉

Di sebuah ruangan layaknya ruang kerja, para tetua sedang mengadakan rapat. Aji Darma, Aji Badra, dan Aji Wirya duduk di sebuah meja melingkar membicarakan tentang kedatangan Mahadewi. Percakapan itu berlangsung sangat serius.

"Sampai saat ini, aku belum mengetahui kedatangan Mahadewi kali ini untuk apa," ujar Aji Yasa.

"Apakah para Pitara belum memberikan petunjuk padamu Aji Yasa?" tanya Aji Wirya.

Aji Yasa menggeleng. Ia katakan "Belum ada petunjuk hingga saat ini. Dan kondisi Sanggraha pun tidak ada mala petaka yang mengancam."

"Aji Yasa, aku sesungguhnya belum yakin dia Mahadewi, bisa saja dia hanya perempuan biasa dari bangsa Yha yang kebetulan masuk ke hutan Puncak Selatan. Aku masih menganggap Mahadewi itu hanya dongeng. Tapi masyarakat kita sudah terlanjur percaya."

Sanggraha [A World Behind The Clouds]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang