ia tidak pernah berharap
terlibat bersama setiap cerita
di dalam semesta
ia hanya manusia patah
yang kebingunganSemesta, jika boleh ia bertanya, memangnya kenapa ia harus berada di dalam sebuah arus yang dengan paksa menyeretnya ke dalam sebuah perputaran di mana ia bukanlah pemeran utamanya melainkan boneka? Apakah hanya karena ketetapanmu yang mutlak itu, atau karena kamu menyembunyikan sesuatu yang harus ia lindungi dari tingkah lakumu yang sarat akan penerimaan itu?
Sebenarnya masih banyak yang ingin ia tanyakan kepadamu, semesta. Namun, ia tahu. Kamu hanya terlalu angkuh sekadar merengkuh. Semua pertanyaannya hanya berakhir di keheningan.
Pagi-pagi buta, deburan air sudah menghantam tubuh laki-laki itu tanpa ragu. Memecah selaput sunyi kesendirian. Padahal air tak mau kalah dengan udara. Sama-sama dingin. Namun, tak lantas membuat seorang pemuda kembali menyibak diri ke dalam selimut tebal.
Setelah berkutat cukup lama dengan peralatan sekolah, Libra menyegerakan langkahnya keluar dari kamar. Bandung memang selalu seperti ini sejak dulu. Tak ada yang berubah. Selalu bersikap dingin kepadanya.
"Cih."
Kakinya berhenti di salah satu ruangan yang paling ia benci di dalam rumah. Ruangan yang tak pernah memberinya kenyamanan, ruangan yang tak pernah memberinya kehangatan, jika ditelaah, padahal itu sederhana sekali.
Datang lalu pergi adalah fase yang tidak pernah bisa manusia hancurkan. Ketika nalar sudah mengenal tamak dan ambisi, tidak akan ada lagi hal baik jika nuraninya saja sudah tidak bisa menenangi.
Perihal ia yang ditinggalkan, itu tidak masalah. Pun yang jadi permasalahannya adalah, ia tak bisa menerima jika adik perempuannya mengalami hal yang sama. Hanya saja, tak banyak yang bisa ia lakukan untuk menyadarkan hati yang sudah lama mati.
Tak mau mengambil pusing, Libra mengambil langkah pertamanya sebagai titik awal sebuah perjalanan. Berteman derap langkah kaki, juga jalanan lengang tanpa dialiri kendaraan berlalu lalang. Hanya sedikit.
Sesampainya di depan sekolah, Libra berhenti sejenak mengambil napas panjang, lalu membuangnya secara perlahan. Nyaris saja kakinya melewati gerbang sekolah. Sebelum Libra tarik kembali akibat teriakan pengang seorang gadis perawan.
"Libra!"
"Libra!"
"Libraaa!"
Sialan! Suara itu, suara itu adalah suara yang paling ia benci. Suara yang setiap harinya rutin ia dengarkan, dari perusuh hidupnya setahun terakhir ini.
"Apa?"
"Libra tahu, nggak? Semalam Ari mimpi ditembak sama Alvaro Mel pakai pistol yang lubangnya ngalahin lubang hidung Libra. Romantis banget, kan?"
"Bodo."
Malas sekali jika sepagi ini ia sudah dihadapkan dengan perkara sereceh ini. Sementara Aries tertunduk kesal, Libra melangkahkan kakinya pergi.
Punya temen kok gini amat, ya?
"Libra, ih. Jangan ditinggal ini Ari-nya. Kalau Bapak Satpam yang berkumis tipis itu nyulik Ari, gimana?"
Tarik napas, lalu hempaskan gadis ternakal dari dunia Libra dengan buangan helaannya. Dilihat dari ekspresi Libra saat ini, laki-laki itu memang sedang malas bercanda dengan Aries. Suasana hatinya sedang tidak benar-benar baik.
"Libra, ih." Aries mendengkus.
"Kok nggak dijawab, sih?"
"Libra?"
"Kok Libra tega sih tinggalin Ari sendirian?"
Andai saja menjahit mulut seorang gadis cerewet itu tidak dilarang, dengan senang hati akan Libra lakukan sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
kita
Teen FictionKepingan-kepingan dari masa yang seharusnya sudah lalu menolak jatuh. Akan tetapi, hatinya sudah hampir runtuh. Hanya saja, berkat kita yang berjuang, yang terluka, yang sama, manusia ini bisa menerima kepulangan paling lapang. Lalu kita, yang bahag...