kita bertemu
pada sebuah senja
sepasang mata milik kita
saling berbicara
biru sudah tidak ragu
senja tenggelam di matanyaBerakhirnya kokokkan ayam, ditandai oleh pancaran sinar matahari yang mulai naik dari tempat perehatannya.
Matanya baru bisa terpejam lepas pukul tiga dini hari tadi. Walau dengan sedikit paksaan tentunya. Semalam suntuk, Aries habiskan untuk menonton pernyanyi favoritnya tampil di salah satu acara bergengsi di Amerika.
"Ri, bangun, Ri!"
"Ari ... bangun, heh! Udah siang. Kamu mau terlambat sekolah?"
"Ari!"
"Ari!"
"Aries!"
Lelah sebenarnya Asih membangunkan Aries jika harus jujur. Perjuangan terakhir, sambil mengembuskan napas panjang, Asih putuskan untuk mengambil sebatang lidi dari sapu di sudut kamar dekat nakas, lalu melentingkannya di atas betis Aries.
"Aww!" Aries memekik, lalu terbangun. "Petir! Hujan petir! Aduh, aduh." Kemudian tertidur lagi.
"Ari, bangun!" ucap Asih sambil menjewer telinganya.
"Kamu mau berangkat sekolah jam berapa, hah?"
"Aduh, Ma," gumamnya setengah sadar. "Ini kan masih subuh. Udah, ah."
"Subuh, subuh. Subuh dari Hongkong! Lihat, tuh. Udah mau jam tujuh. Dasar anak perawan!"
Aries membuka mata sempurna, membelalak.
"Mama, kok, nggak bangunin Ari, sih?"
"Kamunya aja yang ngebo!" Asih berdecak. "Buruan siap-siap! Nggak usah mandi, gosok gigi sama cuci muka aja."
Tak mengurangi kesialannya, sebab Ali—ayah Aries—sudah terlebih dahulu berangkat untuk bekerja. Pun yang memaksanya mau tidak mau harus naik angkutan umum. Kepalang kesal, Aries menjadikan sopir angkot sebagai bulan-bulanannya. Lebih lagi, tak menjamin apakah ia akan datang tepat waktu atau tidak.
"Mang! Ayo buruan bawa angkotnya. Kalau Aries terlambat, Mang Supir yang nanti Ari salahin!"
"Kok saya, sih, Neng?"
"Habisnya si Mang lama banget bawa angkotnya."
Belum sampai setengah jalan, Aries harus dipaksa turun dan melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki. Mungkin karena Aries tidak mau berhenti bergerak dan berbicara.
"Neng! Ayo turun dari angkot saya!"
"Gak mau, Mang! Ini masih jauh sama sekolahan Aries."
"Saya gak peduli."
"Salah aku di mana wahai si Mang Supir? Mang tahu, gak? Apa yang Mang lakuin ke Ari itu, jahat! Lapor Kak Seto, deh. Baru tahu rasa."
"Terserah, Eneng. Cepat turun!"
"Hih! Iya-iya." Aries mengibaskan rambutnya kesal seraya menatap sinis si Mang Supir sebentar. Lekas menyegerakan langkah, mengefisiensikan waktu yang tersisa.
"Neng, ih! Ini angkotnya belum dibayar. Gimana, sih?" teriak si Mang Supir angkot.
"Gak dengar, gak dengar. Aries pakai headset."
***
Nyata-nyata di balik tenangnya yang terasa janggal ini, tetapi Libra menikmati setiap waktunya tanpa kehadiran si pengganggu yang selalu memporak-porandakan dunianya.
Satu hal yang sulit sekali ia dapat, haruskah berakhir dengan cepat seperti ini? Setelah pelajaran usai, Libra melangkah terburu-buru menuju ke tempat di mana ia bisa aman. Setelah melihat Aries menghormat di bawah tiang bendera, Libra berhasil menemukan letak kejanggalannya. Pantas saja tenangnya terasa berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
kita
Teen FictionKepingan-kepingan dari masa yang seharusnya sudah lalu menolak jatuh. Akan tetapi, hatinya sudah hampir runtuh. Hanya saja, berkat kita yang berjuang, yang terluka, yang sama, manusia ini bisa menerima kepulangan paling lapang. Lalu kita, yang bahag...