semesta memang paling tidak bisa diam
dari doa, dosa, dan rasa
hati tidak akan pernah bisa tenang
sebelum lapangDiresmikan hari ini, Aries mendeklarasikan bahwa harinya sudah tak seperti sedia kala di mana ia bisa hidup normal tanpa adanya tatapan-tatapan yang mengintimidasi. Hari pertama, sejak ia menginjak kaki di sini, Aries merasa tidak nyaman dengan sekolahnya sendiri.
"Ri, lo lihat ini, deh," kata Jodi.
"Apaan, Jod?"
"Lo kemarin pulang sama siapa?"
"Sama Maha."
"Maha?" tanya Jodi memastikan. "Maha yang murid baru itu?"
"Yap."
"Aduh!"
"Kenapa sih, Jod?"
Jodi menepuk keningnya sendiri, berat. Dengan senang hati, ia jelaskan kepada Aries kenapa paginya kali ini tidak disenangi oleh banyak orang.
"Apa?"
"Ya gitu, Ri. Mereka tuh nggak suka kalau lo dekat-dekat sama si Maha. Sejak dia ikut gabung sama tim futsal, mau nggak mau gue harus ikut repot juga."
"Pantas. Hari ini Ari kayak jadi artis. Ditatapin terus."
"Nah, makanya."
Aries hanya tersenyum dengan gelagat-gelagat banyak orang hari ini. Siapa pun pasti tidak akan merelakan melihat laki-laki yang mereka taksir, justru datang menjemput gadis lain yang bukan salah satu dari mereka.
Hal yang lantas menjadi buah bibir itu sempat reda. Sampai ketika sebuah foto tersebar di salah satu akun media sosial keesokan harinya, kembali mengangkat pembicaraan kemarin menjadi hangat lagi.
***
Kenyamanannya hilang dicuri banyak orang. Dalam langkah nyaring di dalam sunyi, dengan dumelan yang berperan sebagai melodi. Baginya, hening adalah harta paling berharga. Derap decit sepatu ia paksa bungkam dengan telinga tertutup sebuah earphone tanpa musik. Di taman belakang, Libra sedang bersantap siang.
"Libra, Libra tahu nggak?" ucap Aries seraya merebut potongan roti terakhir milik Libra.
Sekilas Libra melirik. Setelah itu ia tak acuh dengan membuang pandang sembarang. Kedatangan gadis itu benar-benar mengusik jagatnya. Juga dengan gelagatnya yang tidak pernah tidak sukses menyulut emosi Libra.
"Dasar nggak tahu malu!"
"Tatap, kek. Ari lagi mau cerita nih."
"Ogah."
"Ih."
"Berisik, ah. Pergi lo sana!"
"Ayolah."
Libra mendengkus. "Buruan."
"Tahu gak Lib? Akhir-akhir ini Aries jadi tranding topic di sekolah ini. Masa, ya, cuma gara-gara Ari nebeng pulang sama si Maha, cewek-cewek jadi heboh gitu. Padahal kan Ari juga kepaksa waktu itu. Gara-gara si Ayah gak jadi jemput, jadinya Ari kepergok sama hujan. Mana deras banget lagi. Ya, Ari gak mau pulang hujan-hujanan, dong. Terpaksa Ari neduh dulu di halte. Terus tiba-tiba ada mobil datang depan Ari. Kirain siapa, eh ternyata si Maha ngajakin Ari pulang. Ya udah, dengan senang hati Ari terima daripada harus diam di sana nunggu ujan reda." Aries mengakhiri.
"Udah?" tanya Libra.
"Udah."
"Oh."
Sekita Aries menatap tajam Libra.
"Libra!"
"Apaan, sih?"
"Kok cuma 'oh' doang, sih?" Aries merenggut kesal.
"Mau lo apa, sih?"
"Tau, ah!" Lalu satu tendangan berhasil mencium tulang kering Libra.
"Sakit bego!"
"Lebih sakit mana sama orang yang udah cerita panjang lebar sampai mulutnya berbusa, terus cuma dijawab 'oh' doang?"
"Bodo."
"Ih. Nyebelin banget, sih, jadi cowok."
"Lo bego banget jadi cewek."
Aries tahu, Libra itu bukan pilihan yang tepat untuk dijadikan tempat bercerita. Walau acap kali berakhir dengan kekesalan, menurut Aries, Libra adalah tipe pendengar yang baik. Walau pada akhirnya cerita kali ini berakhir tanpa memiliki sebuah akhir.
***
Langkah kakinya begitu cepat. Berlomba dengan keringat yang masih menggantung tak sempat jatuh. Ah, ini murni kesalahan dari pemikirannya yang masih pendek. Seharusnya ia mengerti. Hal seperti ini pasti akan terjadi jika ia bersikeras.
Gagal menemukan sesosok gadis pada waktu istirahat, Maha kembali mencarinya sebelum seluruh siswa-siswi pulang dari sekolah. Bagus, semesta. Ketika tak sengaja tatapnya memandang lurus ke depan, dari arah samping lapangan, berjalan sepasang manusia yang terlihat sangat dekat.
"Akhirnya ... ketemu juga." Dadanya masih mengembang-kempis membuang napas tak beraturan. Namun Maha tetap berusaha tersenyum.
"Kenapa? Nyariin Ari?"
"Ada yang mau gue omongin, nih, Ri," ujar Maha.
"Ngomong apa?" tanya Aries.
Sementara dengan Libra, rautnya menampakkan begitu banyak ketidaksukaan akan sosok baru di hadapannya ini.
"Anu ... soal kemarin, gara-gara gue, lo jadi kena imbasnya, deh. Gue mau minta maaf sama lo, Ri."
"Oh masalah itu. Gak apa-apa, kok. Ngeselin sih. Tapi ya udah sih, ya," ucap Aries.
"Tapi gue jadi gak enak, nih, sama lo. Jadi bulan-bulanan cewek."
"Gak apa-apa, Maha. Gara-gara itu, Ari jadi kayak artis. Banyak yang lihatin, hehe."
Maha menggaruk tengkuk. "Oh iya, kalau Libra, siapa Libra?"
"Noh." Aries menyikut lengan Libra.
"Oh, ini. Maafin gue juga, ya. Nama lo jadi ikut kebawa."
Laki-laki itu hanya diam. Seperti Libra biasanya.
"Ya udah. Kalau gitu, gue pamit duluan, ya."
Setelah Maha pergi, perjalanan pulang yang sempat terhenti kembali berlanjut.
"Gue nggak suka sama tuh orang," celetuk Libra.
"Loh, kenapa?" tanya Aries. Kali ini diiringi wajah tengil yang hanya akan Aries perlihatkan ketika menggoda Libra.
"Apa-apa?"
"Nggak apa-apa." Aries menautkan jari jemari di balik punggung. "Jelaslah nggak suka. Orang Libra sukanya juga sama Ari."
"Apa? Coba lo ngomong sekali lagi. Ini kuping gue tadi ketutupan debu. Saking banyaknya."
"Iya ... kenapa Libra nggak suka Maha, soalnya Libra sukanya Ari. Hahaha."
"Ri, sini deh. Deketan sama gue."
"Tuh, kan. Udah minta dekat-dekat gini. Padahal dari tadi kita nggak jauhan."
"Kurang dekat."
"Mau apa?"
"Ck. Banyak nanya banget, sih."
Libra menarik telinga Aries, membungkuk dan mulai membisikkan sesuatu yang mampu membuat Aries berdiam diri sebentar, membeku.
"Ri, gue suka sama lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
kita
Teen FictionKepingan-kepingan dari masa yang seharusnya sudah lalu menolak jatuh. Akan tetapi, hatinya sudah hampir runtuh. Hanya saja, berkat kita yang berjuang, yang terluka, yang sama, manusia ini bisa menerima kepulangan paling lapang. Lalu kita, yang bahag...