pikirnya tidak pernah sampai
ia tidak menginginkan ini
biar saja ia rindu
tanpa bertukar kabar
menyimpan kenangan manis
ketika betatap irisPertama-tama, Aries harus terus mengikuti langkah Libra yang entah akan membawanya ke mana. Sudah cukup berjalan jauh, tak kunjung sampai ditujuan. Bukannya enggan menaiki angkutan umum atau bagaimana, karena tetap saja Libra bersikeras ingin berjalan kaki.
Sebetulnya, sepanjang jalan yang sudah ia lewati, selama itu juga Aries merengek minta naik angkot atau bus saja. Namun, pengabaian selalu ia terima. Sudah lelah berjalan kaki, gadis itu juga tidak mau membuat hatinya lelah dan akhirnya memilih untuk bungkam.
Alhasil heninglah menyelimuti keduanya. Hanya suara derap langkah yang bercampur dengan deru mesin dari kendaraan yang berlalu lalang yang memaksa keheningan untuk berbagi tempat. Aries jadi berpikir, apakah ini kebiasaan Libra setiap kali pulang sekolah?
Mulut bawel Aries sudah tak tahan lagi untuk bungkam. Akhirnya satu buah pertanyaan berhasil terlontar dari bibirnya.
"Libra, kita mau ke mana, sih? Katanya mau nganter Ari pulang?"
"Ikut dan gak usah banyak tanya!" jawabnya tegas.
Hening lagi. Sebelum mengobrol dengan Libra tadi, harusnys ia memikirkan terlebih dahulu tentang topik apa yang akan dibahas, dan juga akan memanjang tentunya.
Beberapa pertanyaan sebetulnya terbesit dalam kepalanya. Tapi Aries ragu untuk menanyakannya. Khawatir mengusik semacam privasi atau kehidpuam pribadi Libra. Bimbang. Bertanya takut, tak bertanya penasaran.
"Libra?" panggil Aries pelan. Rasa penasaran membuatnya harus melawan rasa takut yang berkecamuk.
"Hm?" Libra bergumam tanpa menoleh sedikitpun kepada Aries.
"Ari mau tanya nih, tapi harus dijawab ya?"
"Oke."
"Petama, kenapa kamu suka banget jalan kaki ke sekolah? Kedua, kenapa gak naik angkutan umum aja atau pakai kendaraan pribadi, gitu? Apa karena orang tua kamu masih gak izinin? Ketiga, kenapa kamu ketus-ketus terus ke Ari?" Jika seperti ini, rasanya lebih cocok dibilang mengintrogasi daripada bertanya.
Libra tidak menjawab. Akan tetapi langkahnya berhenti pada pijakkan kesekian.
"A-Ari sa-salah tanya, ya?" Terdengar nada bersalah dalam bicara Aries kali ini. Padahal ia tidak tahu apa yang salah dalam lisannya.
"Gak," jawab Libra singkat.
"Te-terus kenapa?" Aries semakin dibuat gelagapan karenanya.
"Gak apa-apa." Libra kembali melanjutkan langkahnya yang sempat ia hentikan beberapa waktu. "Pertama, karena gue suka. Kedua, karena gue malas. Ketiga, kebegoan lo emang pantes gue ketusin."
Jika Aries diperkenankan mencakar laki-laki ini sekarang, dengan senang hati Aries akan melakukannya sampai wajahnya tak berbentuk lagi. Mendengar jawaban dari pertanyaannya yang ketiga, membuat tangannya begitu gatal ingin mencakar.
Tak ada percakapan lagi di antara Aries dan Libra setelah itu. Sementara Aries diam dengan segala rasa kesalnya, Libra sedang menetralkan kembali emosinya yang sempat tak sengaja Aries pancing.
Setelah jauh berjalan menanggung kelelahan, seketika langsung hilang begitu saja seketika Aries dan Libra tiba di depan gerbang sebuah rumah besar bereksterior mediterania.
Aries tak kuasa mengedipkan matanya kalau saja tak terasa perih. Menilik setiap sudut rumah Libra yang rapi, bersih, terawat dengan baik, sejuk, indah, halaman pekarangan luas, nyaris tak ada kecacatan sedikitpun.
Hanya saja Aries merasakan satu hal yang hilang. Rumah itu terlalu sepi.
Saat pertama kali membuka pintu rumahnya, seperti biasa, seorang gadis lucu berambut panjang tergerai menyambutnya hangat setiap kali ia pulang sekolah. Hal sederhana yang tidak pernah bosan Emily lakukan.
"Abang kok pulangnya agak sorean, sih?" tanya Emily khawatir. Kemudian melirik Aries seraya melempar senyum.
"Oh, hai lagi Kak Ari. Nggak nyangka, ya, si Abang bakalan bawa Kak Ari ke sini?"
Sebelum menjawab, Libra menghela napas panjang terlebih dahulu. "Cewek di belakang Abang resek. Kamu nggak usah sok akrab sama dia. Orangnya aneh." Libra menyeringai ke arah Aries.
***
Libra sedang berganti pakaian di lantai atas. Emily dan Aries terlihat begitu dekat. Laiknya seorang kakak beradik dalam nyata, semuanya tak nampak fana walau sebenarnya memang begitu.
"Jadi, Kak Ari beneran satu-satunya teman si Abang di sekolah?" tanya Emily.
"Nih, ya. Kalau Mily mau tahu, mah, si Libra itu nggak pernah bisa lepas dari Ari," jawab Aries.
"Serius, Kak?" Ia rasa, cerita ini teramat penting untuk dirinya lewatkan.
"Serius. Katanya, tiada hari Libra tanpa Aries. Semuanya harus ada Aries-nya. Titik."
"Wah, si Abang kok nggak nyangka, ya? Kirain Mily kalau udah di sekolah, si Abang itu nggak pernah mau temenan. Itu berarti, Kak Ari orang yang berharga buat si Abang."
"Ah, masa iya, sih?"
"Eh, serius. Si Abang tuh cuma mau baik sama orang yang benar-benar pantas dibilang baik sama dia."
"Waduh, Ari jadi malu, nih." Aries menyengir seraya memainkan bola matanya searah bolak-balik.
Emily mendekat lalu berbisik di telinga Aries. "Pepet terus si Abang, mah. Jangan dikasih kendor. Nanti juga nyosor."
"Apanya yang nyosor, apa?"
"Eh, Abang." Emily menoleh ke arah Libra seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Libra sudah berganti pakaian. Laki-laki itu melangkah mendekati Aries lalu menarik tangannya dan melongos pergi.
"Libra apaan, sih?" tanya Aries.
"Katanya mau diantar pulang? Ya, ayo."
Emily tersenyum, "Cie diantar pulang si Abang. Kak Ari hati-hati di jalan, ya," ucap Emily.
Sementara semakin jauh ditenggak jarak, Aries melambai-lambaikan tangannya ke arah Emily.
"Nanti Ari ke sini lagi. Ari janji."
***
Sesampainya di rumah, Aries lekas membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur setelah bersih-bersih diri. Menyesap setiap lelah, menghirup setiap aroma kehidupan dari ruang-ruang hampa bersama udara, lalu ponselnya bergetar.
Libra
Si Mily minta jln sm lo.
Aries
Hah, minta jalan? Ari nggak punya.
Libra
Bkn itu mksd w.
Aries
Terus apaan, dong?
Libra
Bsk w jmpt jm 8
Aries
Siap bos.
Setelah itu, Libra tidak membalas pesannya lagi. Aries segera bergegas tidur, lalu membuka gerbang menuju pintu impian selama matanya terpejam dalam malam. Ini adalah kali pertama ponselnya mendapatkan sebuah notifikasi dari seorang laki-laki yang selama ini selalu menghindarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
kita
Teen FictionKepingan-kepingan dari masa yang seharusnya sudah lalu menolak jatuh. Akan tetapi, hatinya sudah hampir runtuh. Hanya saja, berkat kita yang berjuang, yang terluka, yang sama, manusia ini bisa menerima kepulangan paling lapang. Lalu kita, yang bahag...