02| Kakak Beradik Itu Tampak Serasi Sekali

13.7K 556 130
                                    

setidaknya, ia masih memiliki tujuan
untuk hidup
mempertahankan sebuah senyum
agar tetap utuh


















Rumah besar itu terlihat begitu sepi. Namun ketika dirasakan, rasanya selalu saja sesak dipenuhi oleh masa-masa jahat yang menjelma menjadi sebuah kenangan dan mimpi buruk. Masih tertata rapi memang. Hanya saja lengang ini, sama sekali tak berarti.

Menapak jejak di setiap permukaan yang ia injak, lepas membuka pintu, nampak seorang gadis kecil berlari cepat menyabitkan senyum seindah senja kala tiba. Ketidakmampuan yang ia miliki, mengharuskannya bersekolah di rumah.

"Abang .., Mily kangen, deh," ucapnya seraya tersenyum manis, memeluk.

"Biasa ditinggal sekolah, juga." Libra membalas pelukan Emily.

"Abang! Kebiasaan banget, deh, acak-acak rambut Mily."

"Habisnya gemas."

Emily mencubit perut Libra. Sama-sama gemas. Libra itu ... memang seenaknya saja.

"Ya udah, sana. Abang ganti baju dulu. Mily belum makan. Soalnya nggak bisa masak."

"Iya-iya. Tunggu sebentar."

Setelah itu Libra bergegas. Adik perempuannya itu memang selalu bersemangat. Walau dalam hal-hal tertentu, semangatnya selalu terpatahkan ulah beberapa hal.

Seberuk-buruknya perangai manusia, tentu saja mereka tidak benar-benar seperti itu. Tersamar ego, tertimbun segala bentuk keluhan hati. Biasanya, perangai itu muncul seiring berjalannya waktu, atau terkhusus bagi orang-orang yang dianggapnya istimewa saja. Salah satu contohnya adalah saat ini.

"Mau makan apa?" tanya Libra.

Emily merangkul dagu duduk di kursi pantri mengayun kakinya ke depan dan ke belakang.

"Terserah Abang aja, deh. Semua masakan Abang Mily suka, kok."

Perjalanan hidupnya memang tidak mudah. Berada di titik ini saja merupakan sebuah anugerah. Tidak ada kata pasrah, tidak ada kata menyerah.

Terbiasa hidup sendiri, ah, tidak-tidak. Terlalu biasa hidup sendiri, membawanya menuju ke arah mandiri. Segala sesuatu dikerjakan sendiri, membuatnya tersadar bahwa hidup itu bukan untuk dinanti-nanti. Segalanya harus dipersiapkan dengan pasti.

"Yah, Mil. Abang lupa belum belanja bulanan. Cuma sisa sawi doang di kulkas. Makan di luar aja, ya?"

"Yah," Emily menghela napas panjang, "Abang, sih."

"Ck." Libra berdecak. "Lagi pula, udah lama juga nggak makan di luar. Sekalian jalan-jalanlah."

"Teraktir tapi?"

"Sejak kapan Abang diteraktir kamu?"

"Hehe."

Satu hal yang patut disyukuri adalah, orang-orang gila ambisi itu tidak benar-benar melepas tanggung jawabnya. Namun tetap saja, kekecewaan tidak akan semudah itu menjelma menjadi sebuah kebahagiaan.

Mobilnya melesat membelah jalanan Kota Bandung. Setelah sampai, Libra memarkirkan mobilnya di salah satu rumah makan di daerah Dago.

"Tunggu di sini, Abang pesankan dulu."

Tak lama setelah itu, Libra kembali duduk di hadapan Emily.

"Bang, belajar di sekolah formal seru nggak?" tanya Emily.

"Kamu salah kalau nanya soal itu sama Abang." Emily mendengkus panjang.

"Iya, sih. Kelihatan."

"Dari mananya?"

"Dari sifat Abang selama bersekolah. Abang nggak pernah bawa teman ke rumah. Waktu di panti juga begitu."

Libra menegang. "Tolong, Mil."

"Eh, maaf. Kelepasan."

Lewat beberapa menit, dua piring nasi goreng baru datang diantarkan. Besantap dalam keadaan canggung seperti ini memang tidak menyenangkan. Libra sadar betul, ini akibat dari ulahnya. Setelah membuang napas, Libra membuka suara.

"Maafin Abang, ya."

"Buat apa, Bang?"

"Pokoknya maafin, aja."

"Iya-iya," ucap Emily sambil tersenyum.

"Mil habis ini bisa temenin Abang buat belanja dulu?"

"Ke mana, Bang?"

"Yang dekat sini aja."

"Boleh."

Sisanya, Libra dan Emily bersantap penuh hangat. Saling melempar canda dan tawa, begitulah cara mereka menyampaikan kasih sayangnya selama hidupnya berlangsung sampai saat ini.

***

Padahal jarak dari rumah makan tempat tempat Libra dan Emily makan ke sebuah griya tidaklah jauh. Akan tetapi, karena jalanan Bandung tidak pernah beristirahat dan sedang jam pulang kerja, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai di tempat itu. Ia lihat, sepertinya Emily sudah mulai terlihat bosan. Libra menggiring troli mengitari area pusat perbelanjaan. Diikuti dengan Emily di belakangnya.

"Beli es krim sana. Daripada cemberut terus."

"Serius, Bang?"

"Iya."

"Uangnya?"

Libra membekali Emily satu lembar uang pecahan 50 ribu.

"Tunggu Abang di kasir. Jangan ke mana-mana."

"Siap, Bosku."

Lekas Emily berlari, Libra melanjutkan berkeliling mencari apa-apa saja yang sekiranya cukup untuk makan satu bulan ke depan. Seharusnya, tugas ini diemban oleh perempuan. Akan tetapi, satu-satunya perempuan yang ada di rumah hanya Emily.

Sudut kota merangkak menuju gelap. Sayang sekali tidak hadir senja. Si jingga itu memang gemar sekali pergi lama-lama. Seenak-enaknya menyuruh biru menunggu sambil berduka.

"Loh, Bang. Perasaan Mily, Abang tadi belanjanya sendiri, deh."

"Emang sendiri."

"Lah terus itu, kakak cantik yang beridiri di belakang Abang siapa?"

Libra menoleh, betapa terkejutnya ia mengetahui bahwa semesta terlalu sukses membuat kejutan.

"Abang nggak kenal."

"Cie-cie yang belanja bareng pacar," cibir Aries.

"Maaf, jangan sok kenal."

Aries memutar bola mata malas. Ia rasa, ini adalah sakit dari segala sakit yang paling sakit. Mengenal tapi tak dikenali itu, rasanya benar-benar sulit.

"Ah, Libra suka gitu, deh. Masa wajah Ari yang cantik tiada tara ini sampai lupa, sih?"
Emily mengernyit. "Kakak siapanya Abang, ya?"

"Oh kenalin, nama aku Aries. Eum ... mungkin kalau ditanya siapanya Libra, Ari itu teman satu-satunya Libra."

"Oh iya? Kak Ari temannya Abang?" tanya Emily antusias.

Aries mengangguk. "Satu-satunya."

"Wah ternyata si Abang bisa punya teman juga," ujar Emily antusias.

"Mily ... jangan mudah terpengaruh sama orang yang belum pernah dikenal. Bahaya," tukas Libra. Lalu ia menarik tangan Emily membawa gadis itu untuk ikut mengantre di kasir yang sedikit kosong.

"Dadah Kak Ari. Lain kali kita ketemu lagi, ya." Sepatah kata terakhir dari Emily sebelum ia benar-benar pergi ditarik oleh manusia paling ketus itu.

"Kamu habis ngobrol sama siapa, Ri?" tanya Asih bingung. Wanita paruh baya itu juga baru saja selesai berbelanja.

"Itu, Ma. Sama manusia ketus," jawab Aries kesal. "Emang tampang Ari segitu mencurigakannya, ya, Ma?"

"Iya."

"Ih."

Pada akhirnya, hingar-bingar arus kehidupan hari ini ditutup oleh Ariesyang menghentak-hentakkan kakinya kesal.

kitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang