manusia,
dan hatinya
yang rapuh
yang terus mencari-cari
untuk pulang
tersenyum dalam pelukanLibra menghempaskan badannya di atas sofa setelah pulang sekolah. Perasaan yang masih belum mau hilang ini benar-benar menguras nalar dan nuraninya. Padahal, selalu ia tegaskan di dalam dirinya jika ada segala sesuatu yang berurusan dengan Aries ia tidak akan memedulikannya.
Akan tetapi, perasaan lain datang dan menetap di dalam hatinya membawa daya yang lebih besar dari rasa sebelumnya. Sial, harus seperti apa Libra mendefinisikan perasaan aneh ini?
Terlebih lagi, ia yakin sekali kepada Aries yang akan membencinya setelah ini. Libra yakin sekali. Kendati dahulu justru momen seperti ini yang sangat didambainya, sekarang keadaannya sudah berbeda dan Libra ingin selalu ada di dekat gadis itu bagaiamana pun caranya.
Libra mengusap wajahnya gusar. Seragam putih abu-abu masih melekat di tubuhnya. Dari celah jarinya, laki-laki itu dapat melihat Emily sedang berjalan menuruni tangga sambil tersenyum ke arahnya.
"Eh, Abang udah pulang?" tanyanya.
Wajahnya terlihat lemas. Kulitnya begitu pucat. Libra bangkit dari duduknya lekas menghampiri harta satu-satunya yang masih ia punya.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya. Ia benar-benar khawatir.
"Eh, Mily nggak apa-apa, kok. Cuma sedikit pusing sama haus."
"Udah, biar Abang aja yang ambilin Mily minum. Kamu istirahat di kamar aja kalau sakit."
"Mily nggak apa-ap—"
Belum selesai, gelap sudah berhasil melahap. Emily terjatuh dengan mata terpejam di pangkuan Libra.
"Mily!"
***
Semesta, jika memang benar manusia adalah kerapuhan paling nyata, kenapa tidak dihilangkan saja segala luka yang akan berujung kepada kecewa, atau jika manusia itu adalah makhluk yang paling penakut, kenapa harus ada hal-hal yang meresahkan?
Ia hanya tidak mengerti saja. Seharusnya tidak seperti itu. Sepertinya sedang ada yang tidak beres dengan semesta. Semesta pasti sedang ketakutan. Karena sebentar lagi, bumi akan dihadapkan dengan perpisahan kesekian.
Langkahnya tidak mau berhenti. Padahal kakinya sudah tidak mampu berdiri. Ia bingung. Padahal ia sudah sering dihadapkan dengan keadaan yang seperti ini. Namun, kali ini rasanya begitu berbeda. Berat, berat sekali. Seakan embusan angin berbisik kepada telinganya menyampaikan kabar buruk.
"Sial, sial, sial!" Libra mengadu, di dalam umpatannya, ia beradu. Kepada Tuhan, kepada sebuah dermaga, ia memohon.
Lalu, tak lama setelah itu dokter yang menangani Emily membawa dirinya ke luar dari dalam ruangan yang terasa mencekam.
"Bagaimana keadaan Mily, Dok? Bagaimana keadaan anak itu? Dia bakalan baik-baik saja, kan?"
Keheningan ini, memberinya sebuah kepastian. Sang dokter berkata, "Bagaimana, ya, bilangnya. Saya tahu, ini pasti adalah hal yang berat. Emily sudah harus istirahat. Tubuhnya sudah tidak kuat."
"Apa maksudnya itu, Dokter?" Libra bertanya racau.
"Kamu hanya harus berdoa."
"Kenapa harus seperti itu?"
"Jika kamu sudah siap, harap temui saya di ruangan saya." Setelah itu, sang dokter kembali menarik diri dari hadapan manusia paling rapuh saat. Setidaknya, seperti itu Libra mendefinisikan dirinya sendiri saat ini.
Selain itu, manusia adalah makhluk yang paling mudah berpindah. Dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu hati ke hati lainnya, lalu dari satu perasaan, ke persaan lainnya. Ia menatap putih di atasnya, lalu memutar knop pintu. Ia hanya butuh kepastian.
"Abang tahu, kamu adalah anak yang kuat. Makanya Abang ada di sini. Abang mau membantumu berdiri. Jadi, jangan ke mana-mana dulu. Abang cuma belum siap kalau kamu menyerah. Kamu pasti bisa, kan?" ucap Libra sambil menggenggam sebuah tangan kecil-rapuh.
***
Gelap, kepalanya gelap sekali. Maka dari itu, ia harus terbuka. Matanya tidak boleh tertutup, ia harus bangun. Namun, ketika terbuka pun, hal yang pertama kali ia temui adalah gelap.
Digerayangi pening, digerogoti oleh tenggorokan yang begitu kering. Minum, Emily hanya perlu minum. Akan tetapi tangannya tidak sampai menjangkau. Lalu tanpa sengaja, jemarinya menyentuh sebuah rambut seorang laki-laki yang sedang tertidur menemaninya.
"Abang?"
"Ngh." Libra melenguh, tetapi kepalanya mulai terangkat perlahan. "Mily?"
Emily tersenyum seraya butir sebesar peluh turun dari mata manisnya.
"Mily!"
Ketika kesadarannya sudah penuh, ia peluk tubuh kecil itu sekuat yang ia bisa. Tidak mau tahu, Libra tidak mau tahu. Gadis kecil itu harus selalu ada menemaninya. Ia tidak akan membiarkan semesta merebut gadis kecil itu darinya.
"Selamat pagi, Abang."
"Kenapa tidurnya lama sekali? Kamu mau ngusilin Abang?"
"Kenapa? Abang takut?"
"Takut sekali."
Ia gemetaran. Seluruh tubuhnya gemetaran. Bahkan matanya, pun dengan matanya yang sudah tak mampu lagi menyembunyikan kerapuhannya dengan mengeluarkan air mata yang sudah selama mungkin ia sembunyikan di balik kelopaknya. Sial, Libra ingin sekali menangis.
"Abang nangis?"
"Ssst, ini sangat rahasia."
"Mily juga. Mily juga sedang menangis."
Kalau saja semesta memperlakukan sepasang manusia bersaudara itu dengan lebih baik, seharusnya garis mutlak dari ketetapan-Nya yang paling agung tidak akan berakhir seperti ini. Ya, seharusnya tidak pernah seperti ini.
***
Pagi hari ketika suasana membaik, dan mereka sudah bisa bersikap baik-baik saja.
"Abang sekolah, gih. Udah mau jam enam, ini. Nanti Abang kesiangan lagi. Biasanya kan jam segini Abang suka udah berangkat," ucap Emily.
"Hari ini Abang gak akan sekolah."
"Kenapa?"
"Abang mau jagain kamu di sini."
"Ih Abang, emang Mily anak kecil sampai harus dijagain terus?" Emily terkekeh. "Mily gak apa-apa kok ditinggal sendirian di sini. Kan ada petugas juga yang nemenin Mily."
Libra menggeleng. "Enggak mau, ah."
"Ih, Abang." Emily mencebik. "Sekolah, aja. Mily kangen sama Kak Ari. Nanti Abang ke sini lagi sama dia, ya?"
"Gak apa-apa, nih?" Libra mendengkus.
"Gak apa-apa banget. Mily udah sehat, kok. Abang jangan khawatir."
"Ya udah, deh, Abang sekolah, ya?"
"Iya, Abang. Sana-sana pergi!" Nada bicara Emily sengaja ia buat terdengar seperti memang sedang mengusir.
"Ngusir Abang, nih?"
Saling tertawa bersama-sama.
"Ya sudah Abang pergi dulu, ya."
Libra menarik diri dari hadapan Emily denganperasaan setengah ringan. Setidaknya, ia sudah bisa sedikit tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
kita
Teen FictionKepingan-kepingan dari masa yang seharusnya sudah lalu menolak jatuh. Akan tetapi, hatinya sudah hampir runtuh. Hanya saja, berkat kita yang berjuang, yang terluka, yang sama, manusia ini bisa menerima kepulangan paling lapang. Lalu kita, yang bahag...