ia adalah manusia
paling pengecut
untuk peduli
ia harus bersembunyiIa berlari, padahal kaki sudah tidak kuat lagi. Namun, mau bagaimana lagi. Ini adalah salahnya sendiri. Adalah hal yang tidak baik tidur terlalu larut, tetapi bukan untuk hal yang bermanfaat. Seperti Aries.
Lalu karena kecerobohannya sendiri, ia tidak menyadari jika tali sepatunya terlepas dan terinjak oleh kakinya sendiri. Pagi itu, ketika mentari sedang beranjak dari kaki langit, di atas sebuah aspal, Aries terjatuh. Namun, dengan cepat ia kembali berdiri.
"Pagi, Bu. Hehe," sapa Aries.
"Telat lagi?" tanya Bu Syifa.
"Ya, mau bagaimana lagi, Bu. Habis Ari kesiangan bangun," jawab Aries.
Kemudian ia memperhatikan penampilan Aries sekilas. Gadis itu, tidak mencerminkan bahwa ia adalah seorang siswi. Kendati seragam putih abu-abunya, yang roknya sudah bolong di bagian lutut, dan sedikit tergambari oleh noda merah.
"Ya ampun, kamu habis jatuh juga?"
"Ari habis lari tadi, Bu. Eh, tali sepatunya nakal. Keleweran. Padahal udah Ari ikat juga."
"Lain kali, kamu harus lebih hati-hati," ujar Bu Syifa nahas.
"Hari ini Ari dihukum nggak, Bu?"
"Ya itu, sih, udah aturan sekolah. Tapi berhubung kamu sedang tidak baik-baik saja, cukup menghormat sepuluh menit, setelah itu ke UKS dan kembali ke kelas."
"Siap Ibuku tersayang."
Sepertinya bagi ini adalah pagi keberuntungannya. Untung saja, ia jatuh dahulu tadi. Kalau tidak, maka hukuman yang akan dijalaninya pagi ini pasti akan lebih berat lagi.
"Dasar cewek bego."
Ketika suara itu terdengar, ia melirik. Di sebelahnya sudah ada Libra.
"Eh, Libra kok ada di sini? Telat juga?" tanya Aries terkejut.
"Masih perlu gue jawab?"
"Tapi, kok Libra nggak bawa tas?"
"Tas gue di kelas."
"Oh ... gitu ...."
Libra menggeleng. Gadis itu benar-benar bodoh. Kanan tetapi entah kenapa, kebodohan itu justru malah disukainya.
Namun, di luar itu penampilan Aries sangat berantakan. Wajahnya kusam, rambutnya lepek, dan roknya berlubang di bagian lutut.
"Rok lo kenapa bolong?"
"Oh ini, semalam digigit tikus."
"Gak usah bohong."
Kemudian Libra membungkukkan badan. Ia lihat, lutut kecil gadis itu sedikit berdarah dan terluka.
"Li-Libra ngapain?"
"Lo jatoh."
"Kata siapa? Nggak. Ari nggak jatoh. Ini, tadi lutut Ari ciuman sama aspal."
"Bego banget, sih."
"Libra!"
"Apa?"
"Ih!"
Ia ikat tali sepatu Aries, kemudian berdiri.
"Lain kali, lebih hati-hati, ya," ucap Libra sambil tersenyum.
Aries mengangguk, pula ikut tersenyum. Libra berhasil menarik lengkungnya ke luar.
Yang pada dasarnya, laki-laki itu adalah kebaikan itu sendiri. Hanya saja, beberapa mata tidak dapat memandangnya, atau Libra memang terlalu pintar menyembunyikan kebaikannya di balik topeng yang selalu ia pakai ke mana-mana. Topeng yang tidak terlihat.
Hati memang benda paling tidak pasti. Ia akan bergerak ke mana pun arah mata angin membawanya pergi. Pendirian bertekuk lutut di bawah nalar. Akan tetapi, ada satu yang tidak akan goyah. Yaitu keyakinan.
Aries yakin, yakin sekali.
***
"Jangan mau kalah sama luka. Gini doang aja masa nangis, sih?" ujar Libra.
"Tapi ini sakit, Libra, kaki Ari-nya."
"Tapi ini proses penyembuhannya."
"Tapi ini sakit."
Setelah selesai, Libra menutup luka di lutut Aries dengan kain kasa lalu direkatkan dengan stoplas.
"Lo tunggu di sini."
"Libra mau ke mana?"
"Beli minum."
"Buat Ari?"
"Gue haus."
"Dih, dasar manusia nggak peka!"
Libra terkekeh, tetapi ia tidak hirau. Ia bawa langkahnya pergi, menuju tempat di mana seharusnya bisa ia temui pedagang yang menjual air mineral.
Setengah jarak ia tegak, tak sengaja sepasang mata menemui beberapa manusia yang sudah beberapa hari ini ia anggap tidak ada. Jodi, Kevin, Abdul, Maha. Namun, ia tidak berkata apa-apa.
Lalu setelah selesai, Libra kembali dengan mebawa dua botol air mineral. Sekelompok manusia itu benar-benar Libra abaikan.
"Buat lo."
Aries tersenyum. "Makasih."
"Gue juga beliin lo ini." Libra memberikan sebungkus roti kepada Aries.
"Ih, Libra baik banget, deh. Tapi Ari udah makan tadi."
"Nggak usah dimakan juga nggak apa-apa. Gue cuma mau beli itu buat lo."
"Makasih, ya."
Kemudian Aries meneguk air mineralnya. Ia suka Libra yang seperti ini. Ia juga ingin Libra tetap menjadi seperti ini. Sepertinya laki-laki itu sudah berusaha untuk menjadi lebih baik.
"Tadi gue papasan sama orang-orang aneh."
"Siapa?"
"Ya, mereka."
Aries menatap Libra jahil. "Ari tahu siapa."
"Ah, sok tahu lo Kambing!"
"Pasti Jodi, Kevin, Abdul, sama Maha, kan?"
Libra membuang pandang sembarang arah. Ia memang tidak pandai memasang tampang 'seperti tidak terjadi apa-apa'.
"Kenapa emang sama mereka?" tanya Aries.
"Nggak apa-apa."
"Pasti Libra kehilangan, ya? Salah sendiri, sih, pake sok ngehindar gara-gara ada Maha," ucap Aries sambil tertawa.
"Cih."
"Tapi, Ari senang banget. Libra yang sekarang udah mau nerima orang lain di hidupnya. Kenapa nggak dari dulu aja, sih?"
"Semua butuh proses, Ri. Gue cuma takut sama manusia."
"Haha, Libra ada-ada aja, deh." Aries tertawa lagi.
Memang, akhir-akhir ini Libra selalu berpikir. Dirinya adalah seorang egosentris yang gagal. Entah dari mana munculnya paradigma seperti itu, tetapi ia datang begitu saja. Menekan nalarnya bahwa, sudah saatnya hatinya untuk bebas. Lalu perlahan, rasa ini mulai muncul.
"Kenapa nggak baikan aja, sih? Libra juga belum minta maaf sama Maha, kan?"
Libra menggeleng.
"Nggak usah sekarang, kapan aja Libra siap."
"Kalau gue nggak pernah siap?"
"Libra bakalan siap."
"Kenapa lo seyakin itu?"
"Soalnya kan ada Ari." Ia menyengir.
"Gue tunggu."
Ketika hening nyaring, udara-udara seperti sedang berdiskusi. Akan keresahan yang perlahan hilang, tentang kecewa yang selama ini selalu berlalu lalang, akan segera terkenang.
"Ri?"
"Iya?"
"Mulai sekarang, gue mau peduli sama, lo. Boleh, ya?" ucap Libra sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
kita
Teen FictionKepingan-kepingan dari masa yang seharusnya sudah lalu menolak jatuh. Akan tetapi, hatinya sudah hampir runtuh. Hanya saja, berkat kita yang berjuang, yang terluka, yang sama, manusia ini bisa menerima kepulangan paling lapang. Lalu kita, yang bahag...