senyum
adalah obat paling ampuh
untuk sembuh
dari masa-masa
yang tidak pernah bisa
manusia dugaJagatnya lebih terasa seperti, Libra kehilangan sesuatu yang begitu berharga baginya, tetapi ia tidak tahu harus menemukannya dengan cara yang seperti apa dan di mana.
Perasaan wanita adalah yang paling menakutkan di dunia. Tidak masalah jika kamu masih bisa berbicara dengannya walau hanya dibalas dengan kekesalan. Setidaknya, itu lebih baik daripada diabaikan.
Laiknya sebuah melodi paling menyesakkan, hatinya adalah benang-benang yang terputus dari sebuah gitar tua yang kehilangan suaranya. Sekepal pertanyaan tergenggam dalam irama rentanya, lalu sepetik nada terpetik tak menggema dalam resonansinya.
"Ri."
Aries tidak menjawab ketika dipanggilnya.
Libra berdecak. "Mau lo apaan, sih?"
Lalu Aries menghilang.
Ada sebuah janji yang tertunda karena keegoisan seorang manusia. Akan tetapi, itu juga termasuk kesalahannya. Meskipun tiak sengaja membentak gadis itu, ternyata harga dirinya benar-benar tinggi.
Sial, hanya karena itu, Libra harus berjuang.
Siang ini, di sebuah taman di belakang, Libra mendapati Aries sedang makan bersama hening sendirian. Entahlah, akhir-akhir ini gadis itu terlihat murung. Hanya sedikit, tetapi Libra akan berkata jujur saat ini ia merindukan senyuman Aries yang sudah lama ini tenggelam di matanya.
"Kayaknya, ada yang berani datang ke sini tanpa seizin gue."
"Ari kayak dengar suara, gitu. Tapi kok nggak ada orangnya, ya?"
Sialan, ucap Libra di dalam hati.
"Minggir."
"Tuh, sekarang malah kerasa ada yang ngedorong Ari dari samping." Aries bergeser.
"Dasar bego. Gue bukan setan, gue Libra."
"Siapa, tuh? Nggak kenal, Ari," ucapnya tak acuh.
Kesal, sebenarnya Libra kesal sekali. Akan tetapi, Libra juga sudah tidak tahan dengan jarak yang meregang hari-harinya dengan Aries. Keberadaan gadis itu, saat ini, setidaknya harus selalu ada untuk membuatnya tersenyum ketika semesta sedang menertawainya dari tempat hampa paling jauh di dunia.
"Gue Libra, teman sebangku lo."
"Oh, Libra yang suka marah-marah itu, ya?"
"Iya."
"Libra yang nggak punya teman itu, kan?"
"Iya."
"Libra yang kemarin habis pukul orang, kan?"
"Iya."
"Libra yang udah bikin Ari nangis, kan?"
"Iya."
"Libra yang nggak kenal kata maaf, kan?"
"Iya, maaf."
"Eh?"
Aries menatap Libra. Apa ia tidak salah dengar? Namun itu terdengar begitu nyata. Pun, jika ini hanya sebatas mimpi, seharusnya ia segera bangun dari tidurnya. Ia takut, ia tidak bisa mendefinisikan apa maksud dari bunga tidur ini.
Apakah ia harus senang, atau tetap dengan kemarahan akan sosok laki-laki yang sudah beberapa hari ini ia jauhi keberadaannya. Kejadian tempo hari lalu, memang bukan apa-apa. Ia hanya masih sedikit terkejut.
Hanya saja, ia tidak suka Libra yang seperti itu. Ia tidak suka Libra yang bertindak bukan karena hatinya. Aries tidak tahu kenapa Libra bisa sampai marah seperti itu, yang jelas, ia tidak apa-apa.
Padahal Maha bukanlah manusia paling salah di sini. Sejak hari itu pula, Maha tidak pernah menyapanya lagi. Hanya sedikit tersenyum, dan terkesan menghindar ketika Aries temui. Sekadar berbincang, atau tertawa kini sudah tidak ada lagi. Selain Maha yang terlihat seperti sedang ingin menghilang.
"Maaf."
"Kenapa harus minta maaf? Toh emang Ari ini yang salah, kan?"
"Nggak."
"Terus kenapa minta maaf?"
"Nggak tahu. Gue cuma mau aja."
"Ari nggak mau maafin Libra."
"Kenapa lo nggak mau ngerti, sih, Ri?"
Libra mengembuskan napas panjang. Lalu mengempaskan tubuhnya terlentang di atas rerumputan sambil menutup matanya dengan sebelah tangan.
"Kenapa lo nggak mau ngerti, sih, Ri?"
"Apa yang harus Ari ngerti, Libra?"
"Kalau gue cuma takut."
"Takut kenapa?"
"Cih," Libra mendengkus. "Lo emang bego banget, ya?"
"Ngeledek Ari?" tanya Aries kesal.
"Gue ngomongin fakta."
"Iya, ya. Kalau dipikir-pikir Ari kan emang nggak pinter," ucap Aries sambil tersenyum.
"Lo barusan senyum. Buat siapa?" tanya Libra.
"Buat Libra."
Libra mengernyit. "Bukannya lo lagi marah sama gue?"
"Iya, memang. Tapi itu cuma pas hari itu. Besoknya, Ari udah nggak marah lagi. Ari cuma kesal sama sikap Libra. Itu aja."
Libra terbangun lalu duduk dengan kaki bersila.
"Terus, kalau lo nggak marah, kenapa harus jaga jarak sama gue?"
Sekarang, Aries adalah Aries yang sejatinya Aries. Tampang menyebalkan, Libra lihat lagi dari wajah polosnya.
"Cie, kenapa? Nggak bisa jauh-jauh dari Ari, ya? Haha." Aries tertawa.
"Sial."
Setelah itu hening barang sesaat sebelum pada akhirnya Aries kembali berbicara.
"Ari nggak ngejaga jarak dari Libra, kok. Ari juga nggak nuntut Libra buat minta maaf sama Ari. Ari cuma mau ngasih tahu Libra, kalau selama ini apa yang orang-orang di sekitar Libra rasain sama sikap Libra, ya, seperti itu. Jadi, sekarang Libra tahu kan rasanya?" ujarnya seraya tersenyum untuk yang kedua.
Libra mengangkat kepalanya ke atas, lalu menundukannya lagi sambil terkekeh seraya menggelengkan kepalanya. Tanpa Aries sadari, hari ini Aries sudah menjadi manusia paling dewasa di dalam semesta rayanya.
"Tapi Ari senang banget pas dengar Libra mau minta maaf sama, Ari."
"T-tapi, gue malu."
"Hehehe." Aries memperlihatkan sederet gigi putihnya. "Sama satu lagi Ari minta."
"Apa?"
"Jangan marah sama Maha, ya?"
"Kenapa? Dia nyoba ngambil lo dari gue. Nggak bisa."
"Maha nggak ngambil Ari, kok. Maha ngungkapin perasaannya ke Ari. Udah gitu, ya, udah. Kita berteman. Kata Maha, dia juga sadar diri sama posisinya. Jadi, mana mungkin Maha ngambil Ari dari Libra. Jadi Libra nggak usah takut."
"Gue usahain."
Apa-apaan dengan perasaan senang ini, semesta? Rasanya, semua yang hilang dari dalam dirinya kembali utuh. Hatinya terasa penuh. Sekali pun untuk lubang yang akan membuat celah, sudah tidak ada tempat.
"Cih."
Aries menoleh cepat. "Li-Libra ketawa?" Karena memang, dengkusannya terdengar seperti itu di telinga Aries.
"Hahaha."
Aries membelalak. Mungkin, ini adalah kali pertamanya Aries melihat Libra tertawa selepas ini selama ia mengenal laki-laki itu. Aries tersenyum, ternyata ia belum mengenal laki-laki itu dengan baik.
Libra mengacak puncak kepala Aries gemas. Sepertinya,gadis ini adalah yang akan memicu senyumnya. Akan ia jaga sampai kapan pun.Sampai semesta tidak berani lagi menyentuh gadis begonya.
KAMU SEDANG MEMBACA
kita
Teen FictionKepingan-kepingan dari masa yang seharusnya sudah lalu menolak jatuh. Akan tetapi, hatinya sudah hampir runtuh. Hanya saja, berkat kita yang berjuang, yang terluka, yang sama, manusia ini bisa menerima kepulangan paling lapang. Lalu kita, yang bahag...