yang menyimpan sakit sendiri
yang paling patah sendiri
yang paling kuat sendiri
yang paling egois sendiri
adalah manusia
paling rapuhSebagai seorang manusia, ialah yang paling rapuh. Ia gagal menyembunyikan rasa sakitnya. Ia gagal menumbangkan resah yang tertanam bersama serat-serat akar yang membumi hingga bagian paling dalam sebuah samudera hening.
Ia tidak bisa berpaling, ia memikirkan banyak hal. Seperti: kalau ia pergi dari sini sekarang, kira-kira semesta tanpa dirinya akan menjadi seperti apa? Atau ketika ia pergi, ada tidak, ya, orang yang akan merasa kehilangan?
Ia hanya merasa. Sepertinya, ia memang sudah harus secepatnya pergi. Ia bukanlah manusia baik yang patut dipertahankan. Kerjanya hanya merepotkan banyak orang. Membuat banyak orang bersedih, membuat banyak orang menangis.
Semesta, tolong. Dengarkan doanya. Ia ingin sembuh, semesta. Ia ingin lekas sembuh.
Dalam hening paling senyap, nyaring berteriak. Kepalanya sakit, sakit sekali. Nalarnya kebungungan. Sedang Nurani diam tidak tahu harus berbuat apa. Jika ia pergi, nanti akan ada banyak luka. Ia sudah ingin pulang sebenarnya. Akan tetapi, ia tidak ingin membuat banyak orang bersedih.
Ia menangis. Sambil memanggil sebuah nama paling agung selain Tuhan dari kehidupannya.
"Abang, Mily sakit, Abang. Kepala Mily sakit." Ia amat menangis.
Lalu sebutir air bening turun dari mata indahnya. "Kepala Mily sakit, Abang. Tolong Mily."
Barang sesaat ia berteriak, datang dua perawat menjemputnya ke dalam sebuah pelukan penenang, sementara ia yang satunya bergegas memanggil sang dokter agar cepat datang.
"Kepala Mily sakit, Suster. Mily mau ketemu Abang."
"Kamu tenang dulu, ya. Nanti Abangmu segera datang."
Ia memberontak, tetapi sakit. Ia diam, rasanya tetap sakit. Matanya perlahan menutup. Hingga gelap benar-benar menutup.
***
Ada sedikit bekas hitam di area bawah kantung matanya. Semenjak Emily dirawat, ia sudah tidak pernah lagi tidur pada waktunya. Polanya berantakan, karena keresahan-keresahan ini membuatnya tidak tenang.
Ia juga sudah jarang lagi pulang. Suasana di dalam rumah ini, memaksanya untuk berdiam diri di bawah naungan yang tidak dikehendakinya. Pagi ini, ia sempatkan untuk membuat mie rebus sebab tak sempat memasak.
Ditambah dengan telur rebus dan beberapa potongan sawi, 15 menit kemudian Libra telah selesai membuat semangkuk mie. Libra bersantap bersama kekosongan. Jika sebelumnya kursi di hadapannya selalu terisi dengan sebuah senyuman, kini sudah tidak lagi.
Ketika ia sedang melahap sesendok mie, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Ada panggilan dari pihak rumah sakit. Itu tandanya, pagi ini ia harus kembali dengan sebuah kenyataan. Ada dua. Pertama: adalah bahagia. Kedua: adalah kecewa. Siap tidak siap, ini adalah kenyataan.
"Halo?"
"Ini dari pihak rumah sakit. Ada kabar yang harus kami sampaikan."
"Bagaimana keadaan adik saya?"
"...."
Ia mengepal. Akan tetapi hatinya semakin resah. Rautnya menegang, tetapi hatinya semakin gelisah. Tidak semesta, kamu tidak boleh mengambilnya.
"Bangsat."
***
Hal yang paling menyedihkan adalah sebuah ketetapan paling mutlak. Yang sudah tidak bisa diganggu gugat oleh campur tangan manusia, yang sudah tidak bisa dinegosiasi dengan rapalan-rapalan doa.
KAMU SEDANG MEMBACA
kita
Ficção AdolescenteKepingan-kepingan dari masa yang seharusnya sudah lalu menolak jatuh. Akan tetapi, hatinya sudah hampir runtuh. Hanya saja, berkat kita yang berjuang, yang terluka, yang sama, manusia ini bisa menerima kepulangan paling lapang. Lalu kita, yang bahag...