jingga dan biru
adalah sepasang paling mutlak
jingga hilang,
biru mengenang
biru tenggelam
jingga tidak bisa pulangSepekan pasca ia menjalani terapi, perubahan sudah tak mau lagi digenggam. Kecuali rambutnya yang semakin rontok, tertutup kerudung menyisakan wajah yang begitu bercahaya saja.
Pula, selama itu Libra tidak menginjakan kaki di sekolahnya. Tanpa kabar, tanpa simpang siur apa pun. Libra hanya sedang ingin berada di sini saja. Memerhatikan keluarga kecil satu-satunya, yang paling rapuh.
"Bang, apa kira-kira rambut Mily bakalan tumbuh lagi atau nggak, ya?"
Hatinya bukan batu. Hatinya tidak kaku. Ia hanya sebatas manusia yang memiliki nurani sehalus sutra dari balik ketegarannya. Ia belai kepala itu kasih, menyalurkan kasih sayang.
"Pasti."
"Tapi, rasanya ada yang beda ya, Bang?" Emily tersenyum. "Kalau dulu Abang usap kepala Mily, Mily pasti bakalan marah. Soalnya rambut Mily pasti acak-acakkan gara-gara Abang. Tapi kalau sekarang, Mily gak bakal marah. kok. kan rambut Mily udah rontok. Malah Mily merasa sangat senang, hehe."Libra tidak sehebat Aries untuk mengendalikan emosinya. Kadang kala, itu adalah senjata paling membunuhnya. Satu mangkuk bubur di tangannya ia simpan terlebih dahulu di atas nakas. Pun Emily selalu menolak suapannya.
"Abang, kenapa nangis?"
Sial, kenapa di saat-saat seperti ini gadis itu seolah tidak merasakan kesakitan sama sekali? Malah membuat dadanya semakin sesak.
"Eh, nggak kok. Abang nggak apa-apa."
"Pasti gara-gara Mily, ya?"
Libra mendelik. "Abang lebih suka kamu yang diam. Daripada banyak bicara kayak gini."
Emily menunduk.
"Maafin Mily."
"Kenapa harus minta maaf?"
"Soalnya, gara-gara Mily, Abang jadi kerepotan."
"Tapi Abang nggak ngerasa gitu, kok. Jadi kamu tenang aja, ya," ucap Libra sambil tersenyum.
Emily senang memiliki kakak sehebat ini. Ia merasa, bahwa ia adalah seorang adik paling beruntung di dunia. Sebab tak ada yang sebaik Libra. Setidaknya, menurutnya.
"Oh, iya. Kok Abang nggak ke sekolah, sih?" tanya Emily.
"Abang mau di sini."
"Udah berapa lama?"
"Seminggu."
Emily membelalak. Lalu menggeleng, "Besok Abang harus sekolah, ya?"
"Nggak mau."
"Nanti Abang ketinggalan pelajaran."
"Lebih baik daripada ninggalin kamu."
"Nggak bisa. Abang harus sekolah."
Libra mengembuskan napas panjang.
"Tapi Mil—"
"Abang ... Mily mohon ...."
Sial, berat sebenarnya. Akan tetapi, adiknya ini keras kepala sekali. Sambil mengembuskan napas kesal, Libra akhirnnya mengangguk dan mengalah.
"Iya-iya."
Emily tersenyum.
"Terus pulangnya beliin Mily alat lukis, ya?"
"Buat apa?"
"Rahasia," ucapnya sambil tertawa.
Masih saja. Di saat-saat seperti ini, kenapa gadis itu masih bisa tertawa? Libra paham, seluruh nalarnya menolak. Dasar nurani, ia terlalu memaksakan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
kita
Teen FictionKepingan-kepingan dari masa yang seharusnya sudah lalu menolak jatuh. Akan tetapi, hatinya sudah hampir runtuh. Hanya saja, berkat kita yang berjuang, yang terluka, yang sama, manusia ini bisa menerima kepulangan paling lapang. Lalu kita, yang bahag...