Part 6

7.7K 354 5
                                    

Hubunganku dengan istriku semakin lama semangkin memburuk. Aku tidak bisa lagi mengendalikan dirinya. Aku sangat syok sekali saat mendapatkan tagihan kartu kredit dari istriku sebesar 50 juta rupiah. Sejak kejadian lalu rupanya diam-diam istriku memiliki kartu kredit tanpa sepengetahuanku.

Istriku masih bersenang-senang dan berhura-hura menghambur-hamburkan uang. Hampir setiap hari kami berdua selalu bertengkar. Sebenarnya aku sangat malu sekali sama anak-anakku dan pembantuku karena kami selalu bertengkar gara-gara uang.

Aku sudah memberitahukan semua masalahku pada keluarga besar istriku. Tetapi mereka bilang tidak usah mempermasalahkannya. Mereka bilang nanti saja aku membeli tanah dan membangun rumah. Mama dan papa mertuaku bilang hidup itu harus di nikmati. Mereka menyarankan setelah aku dapat uang jasa, saat aku pensiun nanti, aku baru membeli tanah dan membangun rumah sama seperti mereka dulu.

Tapi aku tidak berpikir seperti itu, bagaimana kalau tiba-tiba nanti aku mati? Bagaimana dengan pendidikan anak-anak aku? Bagaimana dengan masa depan anakku nanti? Mereka berdua akan tinggal di mana?

Pak, ini wedang jahenya...
Silahkan di minum pak...
Ucap pembantuku mengagetkan lamunanku.

Terima kasih Annisa...

Sama-sama pak, kalau begitu saya permisi dulu pak. Kalau bapak ada perlu lagi bapak boleh panggil saya.

Iya.

Annisa pun pergi berlalu dari hadapanku. Di hari Minggu pagi ini dia mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Memasak, mencuci piring, mencuci pakaian, menyetrika. Annisa pun sering di bantu oleh kedua anak-anaknya yang masih kecil.

Annisa memilik 2 orang anak kembar. Satu anak laki-laki dan 1 anak perempuan mereka berumur 6 tahun. Kedua anak-anak Annisa tinggal bersama kami. Mereka berdua bersekolah di SD Negeri.

Waktu itu aku menyuruh Annisa untuk memasukkan kedua anak-anaknya ke sekolah swasta sama seperti kedua anak-anakku tetapi dia tidak mau.

Saya nggak punya uang pak, bayaran di sekolah swasta itu mahal. Fahri dan Fahra biar sekolah di SD Negeri saja gratis nggak bayar pak".
Ucap Annisa sambil menundukkan wajahnya.

Biar saya yang bayar uang sekolah mereka Annisa.

Tidak usah pak, terima kasih atas kebaikkan bapak. Saya sudah sangat bersyukur bapak mau menerima saya kerja di sini dan memperboleh kan saya membawa kedua anak-anak saya untuk tinggal di sini. Saya tidak mau berhutang budi. Anak-anak saya adalah tanggung jawab saya.

Tapi sekolah negeri itu jauh dari rumah ini Annisa...

Nggak apa-apa pak, nanti saya akan   mengantar dan menjemput mereka berdua pergi dan pulang sekolah dengan sepeda saja. 

Kalau begitu kamu pakai motor saya saja. Nggak apa-apa kok, motor itu kan jarang di pakai sama saya dan sama ibu.

Nggak usah pak terima kasih, biar saya antar dan jemput mereka berdua naik sepeda saja.

Ucap Annisa sambil tetap menundukkan wajahnya. Tidak pernah sekali pun aku melihat Annisa berbicara sambil menatapku begitupun saat dia berbicara dengan laki-laki lain yang bukan muhrimnya. Dia selalu menutup auratnya dengan rapat dengan jilbab panjang yang selalu di pakainya.

Bidadari Dunia VS Bidadari Surga (1-42 End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang