Chapter 4 Buah Hati

1.3K 55 2
                                    

Tinggal vote dan komentarnya ya. Maaf kalau ngebosenin. Saya berusaha konsisten menulis lagi nih. 😄😄

🌼🌼🌼🌼🌼🌼

Music playing : Ada Band -  Buah Hatiku

❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️❣️

Susi melamun memerhatikan dagangannya yang masih banyak. Sebagian penjual di pasar sudah merapikan barang dagangan mereka di siang hari yang cukup terik. Rata-rata penjualan mereka sudah hampir habis. Setiap hari dagangannya tidak habis walaupun dia menjualnya di rumah juga.

"Enggak perlu sedih, mba. Memang dagangan bapak tiap hari juga enggak habis. Sudah biasa. Yang penting bisa buat belanja dagangan lagi besok dan bisa makan." Sisi menjawab isi pikiran Susi yang pasti tidak jauh dari uang. 

Susi mengangguk tanpa melihat ke arah Sisi yang duduk di sebelahnya. Sikap Sisi lambat laun padanya sudah mulai membaik walaupun kata-kata yang dikeluarkan Sisi masih sedikit 'nyelekit'.

"Mba bukan mikir dagangan." kilahnya.

"Terus?"

Memang benar Susi sedang memikirkan barang dagangan yang masih tersisa banyak namun dia gengsi untuk mengakuinya pada Sisi. Dia tidak ingin Sisi mengeluarkan kata menyakitkan lagi untuknya. Dia ingin Sisi berlaku baik padanya seperti dulu. Susi putar otak demi menjawab pertanyaan Sisi. Dan seketika sebuah pemecahan masalah keuangan muncul dalam benaknya.

"Mba lagi mikir tawaran mba Parmi."

Terdengar decakan Sisi lalu gadis itu menjawab, "mba mau jadi TKI ke luar negeri? terus anak mba siapa yang ngurus? Aku? aku enggak mau ngurus anak mba. Bapak juga pasti enggak mau."

Susi menoleh menatap Sisi. Ucapan Sisi yang ini sungguh menyakitkan hati. Benar-benar menyakitkan hatinya. Susi menarik nafas dalam, berusaha menahan amarahnya yang membludak. "jangan khawatir. Anak bakalan mba titip ke panti asuhan atau mba jual ke orang yang butuh anak. Simpel. Uangnya nanti bisa buat--"

"Mba!" Sisi sudah berdiri dari duduknya, menatap sengit Susi. Sisi terkejut dengan apa yang Susi katakan. "Kenapa cuma uang yang ada dipikiran mba Susi?" Menurutnya, dalam otak kakaknya itu hanya uang semata. Sisi mengatakan demikian karena dia berharap kakaknya itu mengurungkan niatnya pergi menjadi TKI.

Susi memandang Sisi dengan tatapan yang tidak kalah kesal. "Terus maunya kamu apa? kamu kan enggak mau dititipin anaknya mba. Ya sudah mendingan mba kasih ke orang yang butuh anak."

Sisi tidak mengatakan apapun lagi dan memilih diam setelah mendengar perkataan sakit hati Susi.  Sesungguhnya Susi benci benar mengucapkan kalimat itu. Kalimat itu keluar begitu saja dari bibirnya karena dia merasa Sisi masih membencinya. Susi tidak pernah ingin memberikan anaknya kepada orang lain. Namun jika ekonomi kurang mendukung, Susi tidak bisa mengelak lagi. Dia lebih baik memberikan anaknya kepada orang lain agar sang anak bisa hidup layak dan tidak mengalami gizi buruk. Dahulu, Dia sering mengumpat pada orang-orang yang membuang anak mereka begitu saja padahal masih banyak di luar sana orang yang berjuang puluhan tahun agar memiliki anak walau hanya satu. Dan hanya karena kehadiran buah hati, terkadang rumah tangga bisa goyah.

Susi belum mengatakan yang sesungguhnya pada bapak dan Sisi mengenai dia yang akan memiliki bayi dampit. Susi tinggal di desa yang masih mempercayai hal-hal yang berbau klenik. Salah satunya adalah kelahiran bayi dampit. Jika ada orang tua yang memiliki bayi dampit atau dalam arti umumnya adalah bayi dengan jenis kelamin berbeda harus dipisahkan. Salah satu bayi itu harus dirawat oleh orang lain hingga mereka dewasa dan setelah dewasa, mereka akan dijodohkan satu sama lain karena mereka sudah membawa jodohnya sendiri. Jika tidak mengindahkan hal itu maka desa tersebut akan mendapatkan celaka. Hal yang berbau mitos sudah mendarah daging dalam masyarakat dan dia tidak bisa melawan sesuatu yang sudah mendarah daging. Susi hanya pasrah jika waktunya tiba nanti. 

KALA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang