Bab 35 pilihan!

15.1K 1.7K 50
                                        

"Vin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Vin."

"Enggak Mel. Kalau aku bilang tidak ya tidak. Ingat. Kamu lagi hamil muda dan kondisimu saja masih terus mual muntah. Aku sudah memberimu toleransi untuk bekerja meski sebenarnya aku hanya ingin kamu istirahat di rumah."

Melati menghela nafasnya. Sore ini dia mendapat telepon dari ibunya. Yang menangis karena ayahnya terkena serangan jantung dan harus di rawat di rumah sakit. Bagaimanapun juga, Melati tetap merasa kasihan dengan sang ayah. Mengingat kenyataan yang ada kalau dia memang anak kandung ayahnya.

"Vin. Tapi ibu sendirian. Aku tidak tega. Ibu menangis histeris di telepon dan memintaku ke sana menjenguk ayah. Kondisinya.."

Melati menghentikan ucapannya saat pria itu baru saja selesai melepas sepatunya. Vino tampak lelah sore ini. Dan Melati tidak mau membuat suasana hati Vino memburuk. Dia tahu Vino tidak mungkin akan mengijinkannya untuk ke Jakarta menjenguk ayahnya.

"Ya udah. Kamu mandi air hangat sana. Habis itu kita makan. Aku sudah masakkan kamu rendang."

Vino melangkah mendekati dan kini menarik tubuhnya untuk lebih dekat. Pria itu selalu membuat jantungnya berdegup kencang dengan tatapan intens seperti itu. Vino itu jarang tersenyum. Bahkan selalu menampakkan sikap dinginnya kepada siapapun. Hanya di atas ranjanglah pria itu bisa melunak. Dan Melati berharap dia dapat mengubah sikap itu.

"Aku tidak ingin kamu terluka atau apapun itu Mel. Pikirin dirimu sendiri dan calon buah hati kita. "
Vino mengecup keningnya lalu melepaskan pelukannya. Kalau sudah seperti itu apa Melati tega untuk menentangnya?

Akhirnya Melati hanya mengangguk dan tidak mendebat Vino. Dia menatap Vino yang melangkah masuk ke dalam kamar mandi di dalam kamarnya. Melati sendiri akhirnya melangkah ke arah kasurnya dan duduk di sana. Saat itulah dering ponsel kembali berbunyi.

Melati langsung mengambil ponsel yang ada di atas bantal. Saat membukanya ibunyalah yang meneleponnya.

"Iya bu."

Melati segera menjawabnya tapi matanya tak lepas dari pintu kamar mandi. Takut kalau Vino tahu sang ibu sedang menghubunginya.

"Mel. Kamu ke sini kan? Naik pesawat biar cepat. Kondisi ayah kamu..ibu takut.."

Melati menghela nafasnya saat mendengarkan suara isak tangis di ujung sana. Hatinya merepih perih.

"Bu..tapi Mel sedang hamil muda dan sepertinya kondisi Mel juga.."

"Kamu tega Mel? Ini ayah kamu yang terbaring sakit dan kondisinya rawan. Kamu durhaka kalau tidak ke sini menjenguk ayah kamu."

Hati Melati kembali merepih. Kenapa ucapan ibunya menyakiti dirinya. Selama ini dia berusaha untuk tidak menjadi anak durhaka. Tapi ayahnya memperlakukannya seperti anak tiri kepadanya.

"Bukan begitu bu. Tapi Mel juga harus dapat ijin dari Vino juga. Mel juga sedang dalam kondisi tidak sehat bu."

Melati mencoba memberi alasan yang tepat.

"Kamu itu kok selalu saja membuat ayah kamu marah Mel. Mungkin ini kesempatan kamu untuk mengambil hati ayah kamu. Cuma tinggal kamu yang ada. Mawar sudah meninggal. Dan jangan menambah kesedihan ibu dengan kamu tidak datang ke sini. Ibu akan ikut membencimu kalau kamu tidak datang ke sini menjenguk ayah kamu. Hatimu itu sekeras batu Mel."

Klik

Melati belum menjawab saat telepon itu di tutup. Melati mencoba menahan tangisnya. Dia menelan ludah beberapa kali untuk menghilangkan rasa sesak yang menyekat tenggorokannya. Sungguh. Ibunya makin membuat hatinya merepih.

Suara pintu kamar mandi di buka membuat Melati akhirnya meletakkan kembali ponselnya di atas bantal. Dan berusaha untuk menahan air mata yang sudah ada di pelupuk matanya. Dia mengedipkan matanya beberapa kali dan berharap Vino tidak melihatnya.

"Kamu mau tidur sore?"

Vino menatapnya saat pria itu melangkah mendekatinya. Handuk terkalung di lehernya. Rambutnya basah dan Vino sudah tampak segar.

Melati menggelengkan kepalanya dan tersenyum kaku. Berdoa semoga Vino tidak menangkap kegelisahan hatinya.

"Cuma masih agak mual. Mau tiduran sebentar saja."

Vino menganggukkan kepalanya. Lalu mengangkat kedua kaki Melati agar berada di atas kasur. Tangan pria itu dingin saat menyentuh kakinya. Memijitnya secara perlahan.

"Susu ibu hamilnya diminum. Biar kamu gak mual lagi. Tadi di sekolah kamu gak beraktivitas terlalu lelah kan?"

Melati menggelengkan kepalanya dan mencobw tersenyum. Tapi usahanya sepertinya gagal. Dan hal itu membuat Vino yang kini tengah menatapnya  mengernyitkan kening.

"Mel. Ada apa?"

Pria itu kini mengulurkan tangan untuk mengusap rambutnya dengan sayang. Dan kelembutan Vino malah membuat hati Melati semakin mencelus. Dia tidak tahan lagi dan menangis. Membuat Vino menatapnya dengan bingung tapi kemudian pria itu merengkuhnya ke dalam pelukannya.

"Hei ada apa? Kenapa menangis? Ada yang sakit?"

Melati membenamkan wajahnya di lekuk lengan Vino. Pria itu menguarkan aroma sabun yang segar.

"Jadi kenapa nangis histeris seperti ini?"

Vino mencoba menatap wajah Melati dengan menjauhkan tubuhnya dan kini menyentuh wajah Melati untuk menatapnya.

Pria itu tampak bertanya tapi Melati hanya menunduk. Dia takut Vino marah dengan tangisannya ini.

"Karena ayah kan?"

Dan Melati tidak bisa membohongi Vino lagi. Dia menatap Vino dengan takut-takut.

"Vin. Ibu tetap menyuruh aku menjenguk ayah. Kalau aku tidak ke sana. Ibu akan membenciku seperti ayah membenciku. Apa salahku Vin. Apa?..."

Tangis Melati kembali pecah. Dia tidak bisa mengerti kenapa hal ini terjadi kepadanya. Baru saja dia merasa bahagia dengan Vino. Tapi halangan lain sudah menerpanya.

Vino merengkuhnya lagi ke dalam pelukan. Tapi tubuh pria itu terasa tegang. Melati tahu kalau Vino marah.

"Aku tetap tidak akan mengijinkanmu Mel. Aku lebih mengkhawatirkan kondisi kamu.ayah kamu pasti bisa bertahan. Dan aku tidak ingin kamu mengorbankan dirimu dan anak kita. Aku tetap tidak akan memberimu ijin kalau kamu nekat ke sana."

Bersambung

Hai...lama ya upnya soalnya idenya baru mampir nih..

Beneran susah cari ide buat melati ini...duududududu..

seputih MelatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang