5

912 130 81
                                    

"Terima kasih!" dengan cepat Yein turun dari motor Jungkook. Melepas helm lalu berjalan cepat memasuki rumah sambil sesekali merapikan tatanan rambutnya yang berantakan. Jungkook hanya bisa mengelus dada melihat tingkah kekanakan dari adik sahabatnya itu. Beda usia mereka hanya berselang satu tahun. Tapi mengapa Jungkook merasa sedang bertengkar dengan anak berusia 10 tahun?

Seperti biasa, Jungkook tidak langsung pulang. Ia selalu menyempatkan diri menyapa Ibu Hoseok dan juga Yein. Jungkook sudah menganggapnya seperti ibu sendiri. Mamanya selalu sibuk bekerja. Mereka hanya bisa bertemu di malam hari. Itulah sebabnya, Jungkook mencari pelampiasan di sini.

"Siang Bibi Jung," sapa Jungkook pada wanita yang sedang sibuk memotong wortel di dapur. Tubuh jangkung dan wajah lonjong Yein menurun dari ibunya ini.

"Hai Nak, sudah makan?"

Jungkook menggeleng. Ia mengambil wortel yang masih utuh namun sudah dikupas lalu memakannya begitu saja. Julukan kelinci tidak salah disematkan padanya.

"Kalau begitu makan di sini. Sebentar lagi semua matang. Tapi ngomong-ngomong kau harus kupaskan lagi satu wortel untukku."

Jungkook mengangguk dengan senyum ceria. Ia berjalan menuju lemari pendingin dan mengambil satu buah wortel lalu mengupasnya. Mulutnya tidak berhenti mengunyah wortel mentah yang diambilnya sebelum ini.

Yein turun dari kamar dengan wajah masih ditekuk. Orang yang membuatnya kesal malah sedang asyik membantu ibunya memasak. Yah sebenarnya Yein senang-senang saja melihat Jungkook. Tapi mengingat selca imutnya bersama Eunha, membuat Yein sakit hati. Ah entahlah, Yein juga merasa bingung. Ia merasa senang dan kesal secara bersamaan. Ini aneh.

"Yein siapkan piringnya ya, kita makan bertiga siang ini," titah Nyonya Jung saat mendapati sang putri akan berbalik pergi menuju kamarnya kembali. Yein menghela napas pasrah. Dengan gontai ia menuju rak piring. Jungkook tidak meliriknya sama sekali. Itu membuatnya semakin kesal.

Saat makan siang, Yein makan dalam diam. Tidak seperti biasanya yang selalu mengoceh tentang segala hal. Itu membuat Nyonya Jung terheran-heran. Setelah selesai makanpun Yein berinisiatif mencuci piring tanpa diminta. Padahal biasanya selalu saja banyak alasan jika dimintai tolong. Tangan gatal lah, kuku baru selesai diwarnai lah, dan berbagai macam alasan kemalasan lainnya.

"Dia kenapa?" bisik Nyonya Jung sambil mencolek bahu Jungkook pelan. Pria itu mengernyit kemudian mengangkat kedua bahunya.

"Sejak tadi sudah seperti itu Bi," jawab Jungkook tak kalah berbisik.

"Ah mungkin dia sedang mendapatkan periodenya," tebak Nyonya Jung. Jungkook hanya mengangguk tanda setuju. "Ya sudah, kau temani dia dulu ya, Bibi ada arisan. Hoseok mungkin sebentar lagi pulang."

Jungkook kembali mengangguk dengan setengah hati. Kapan sih Jung Yein tidak merepotkannya?

Padahal niat Jungkook kan hanya untuk menumpang makan saja, lalu berangkat les piano. Tapi apa boleh buat. Menolak juga rasanya tidak sopan. Membolos sekali lagi sepertinya tidak mengapa. Toh ia juga sudah menguasai materi pengulangan minggu lalu.

Yein tidak bisa ditinggalkan sendiri. Ia akan ketakutan jika hanya ada dirinya seorang diri. Terlebih di rumah. Mungkin karena trauma masa kecilnya karena sempat hilang di Taman bermain.

Sementara Nyonya Jung bersiap-siap, Jungkook menghampiri Yein. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. Tubuhnya bersandar di tembok. Yein masih mengelap piring yang telah di cuci. Sambil sesekali melirik Jungkook sinis.

"Masih marah ya."

Yein tampak berdecih pelan. Apakah ia terlihat sedang melucu?

"Memangnya aku berhak marah? Memangnya aku ini kekasih Kakak?" jawab Yein ketus. Sengaja membalik pertanyaan Jungkook dengan sedikit sindiran.

Not Mine [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang