30

1.3K 88 146
                                        

"Jadi apa lagi?"

Eunseo mengamati wajah ditekuk sahabatnya yang sudah sejak satu jam yang lalu menyambanginya siang ini. Ia sempat meninggalkan Yein selama setengah jam di ruang tengah sementara untuk menenangkan tangisan bayinya yang baru berusia dua minggu.

Yein tertawa hambar. Meneguk hingga habis sebotol air yang terhidang di atas meja lalu melemparnya sembarangan. Pertanyaan Eunseo memantik emosinya.

"Seperti biasa hanya berkutat pada hal yang sama," jawab Yein dengan bahu mengendik.

"Hanya karena masalah itu?" pekik Eunseo tertahan. Ia takut membangunkan bayinya jika kelepasan berteriak tentu saja.

"Oh ayolah itu hal yang sangat penting bagiku!" balas Yein kesal. "Aku tetap membutuhkan kejelasan."

"Ya Tuhan, hanya saja.. hei apa kau pikir yang dilakukannya hanya akting? Kalian selalu tampak mesra, kemana saja berdua. Dia juga terlihat sangat perhatian dan sayang padamu."

Yein berdecak pelan. "Memang sejak kapan dia pernah terlihat tidak perhatian dan sayang padaku?"

"Lalu?" tanya Eunseo semakin bingung. "Hei sudah jangan minum lagi!" Ia menyingkirkan botol yang sudah siap untuk Yein tenggak kembali. Saat datang ke rumahnya, Yein sudah siap dengan dua kantung belanjaan di tangan kanan dan kirinya. Satu kantung berisi berbagai macam hadiah untuk bayinya, dan satu lagi ─entah berapa botol minuman yang dibeli. Yang tergeletak di atas meja saja sudah 3. Ditambah dengan yang dilemparnya tadi jadi 4.

"Tidak usah berlebihan, ini hanya air mineral."

Yein kembali menyambar satu botol air dari dalam kantung belanjaan dan mengabaikan larangan Eunseo yang masih menatapnya ngeri. Sekali lagi, isi botol itu tandas dalam sekejap.

"Apa perutmu tidak kembung?"

Yein menggeleng sembari memegangi kepalanya yang mulai pening. Eunseo menyerah untuk membujuk. Yein yang seperti ini, pasti tidak akan mendengarkan saran siapapun.

"Kau terlihat sedang patah hati."

"Entahlah," jawab Yein enggan.

"Kenapa tidak tanyakan saja padanya?"

"Mau tanya apa lagi? Sudah kuulang setiap hari, tapi jawabannya tetap sama." Bibir itu membentuk sebuah kerucut dengan mata yang perlahan terpejam.

Yah Eunseo paham sekarang. Yein sedang menunggu kepastian yang tidak kunjung datang.

"Itu resikonya. Kau sudah setuju untuk menunggu seberapa lamapun itu. Kau tahu? Saat itu aku benar-benar tidak mengerti dengan pikiran bodohmu yang bersikeras bertahan. Kau hanya akan membuat pria itu besar kepala dan bersikap seenaknya padamu. Tegaslah sedikit! Jika sudah tidak sanggup lagi, tinggalkan saja dia!" seru Eunseo berapi-api. Dirinya sangat terkejut ketika Yein membawa pria itu untuk menemuinya sebagai permintaan maaf karena tidak bisa menjadi brides maid saat menikah. Hari pernikahannya berlangsung tiga hari setelah skandal Yein menyebar di internet. Karena itu, Eunseo bisa memaklumi ketidakhadiran Yein. Tapi untuk masalah hubungan Yein dengan pria itu, sebenarnya ia menentang keras. Eunseo takut jika Yein hanya dijadikan pelarian semata. Terlebih pada keputusan keduanya yang terkesan terlalu terburu-buru.

"Kau benar."

Eunseo membulatkan bola mata. Tidak disangka Yein akan membenarkan perkataannya dan sadar jika selama ini yang dilakukannya adalah hal bodoh. Tapi Eunseo juga tidak bisa membayangkan jika Yein mengikuti sarannya untuk menyerah. Karena mungkin, semua sudah terlambat.

"Ck entahlah."

Botol kelima kembali ditegak habis. Tidak lama kemudian perutnya terasa bergolak. Yein segera berlari kecil menuju kamar kecil terdekat. Memuntahkan apa saja yang baru ia isi ke dalam lambungnya. Si keras kepala sedang tahu rasa. Maka hanya direspon decak frustasi dari sahabatnya.

Not Mine [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang