Jung Yein menatap datar layar ponselnya begitu ia selesai membaca pesan yang masuk. Itu dari Kim Yugyeom kekasihnya. Pria itu mengajaknya makan malam pada akhir pekan ini. Setelah mengiyakan ajakan itu, Yein memilih meletakkan ponselnya jauh-jauh dari jangkauan. Tentu saja karena saat ini ia sedang sibuk memeriksa laporan akhir bulan hasil kerja keras dari anggota divisinya. Ingat jika posisinya termasuk penting di perusahaan ini. Maka Yein tidak mau membuat kesalahan sama sekali sebagai dedikasi terakhirnya sebelum menyerahkan surat resign yang sudah ia persiapkan jauh-jauh hari.
Dua jam kemudian, ia bangkit dari duduknya untuk meregangkan seluruh otot yang terasa kaku dengan melakukan sedikit stretching. Mengambil napas dalam, diliriknya jam di pergelangan tangan. Sudah masuk jam makan siang namun ia enggan keluar ruangan. Beruntung Yugyeom sedang tidak ada di sana. Jika tidak, bisa dipastikan Yein akan terseret ke salah satu restoran bintang lima hanya untuk sekedar makan siang.
Jujur Yein tidak terlalu suka. Ia lebih senang menyantap ramyun pinggir jalan atau yah sesuatu yang berbau masakan rumah. Yein bisa memasaknya sendiri. Jika dia mau. Tapi tidak. Ia sudah menghilangkan kebiasaan memasakkan sesuatu untuk orang lain. Bahkan untuk Yugyeom yang berstatus kekasih. Biarlah pria itu menilai Yein sebagai gadis mandiri yang tidak pintar memasak. Ia tidak mau membuat pesonanya semakin bertambah hingga membuat lelaki itu semakin terjerat dan enggan melepasnya.
Lagipula selama ini Yein hanya butuh pujian dari satu mulut saja mengenai rasa masakannya. Dan kalian pasti bisa menebak siapa orang itu.
Lain halnya dengan rencana membuka restoran untuk masa depan. Setelah dipikirkan lagi, mungkin memasak bisa membantunya menghilangkan stress. Membunuh waktu, dan bahkan membuatnya terhibur. Ia tidak perlu lagi berkutat dengan bertumpuk-tumpuk dokumen yang membuatnya harus menatap layar komputer selama berjam-jam, hingga membuat matanya lelah dan menambah minus. Yah semua hal itu akan segera ia tinggalkan. Pelarian yang lama sudah usang. Ia butuh suasana baru.
Dibukanya kotak bekal berisi salad buah yang sengaja ia buat sendiri. Yein akan menjalani pola hidup sehat. Ia sudah berjanji pada seseorang untuk mulai menata dirinya sendiri. Untuk meyakinkan bahwa semua baik-baik saja. Meskipun itu adalah hal yang begitu sulit.
Ia tidak akan runtuh lagi dengan mudah. Tidak akan ada yang bisa melukainya lagi. Tidak dengan Jungkook atau dirinya sendiri.
***
Dress merah sedikit di atas lutut, dengan stiletto hitam mengetuk lantai marmer putih yang saat ini sedang ia pijak, Jung Yein tampil dengan begitu elegan. Lipstick sewarna darah yang tampak kontras dengan kulit putihnya menambah kesan magis yang membuat seluruh mata terpana. Ini bukan riasan berlebihan yang membuatnya ingin menjadi pusat perhatian semenjak melangkahkan kaki menuju ballroom hotel. Salahkan saja wajah cantik yang melekat pada dirinya sejak lahir. Dan jangan lupa salahkan juga warna kesukaannya yang begitu mencolok.
Merah. Sejak dulu hingga sekarang tidak pernah berubah. Tetap berani dan menantang.
Yein bahkan beberapa kali ingin memutar bola mata kala suara-suara asing bermaksud mengajaknya berkenalan. Sama sekali tidak tertarik. Yugyeom tidak datang sendiri untuk menjemput. Ia hanya menyuruh supir pribadinya untuk mengantar Yein sampai pintu masuk hotel saja. Oleh karena itu, banyak mata keranjang dari kalangan elite yang dengan leluasa mengganggu. Hingga ia memutuskan untuk mempercepat langkah sampai ke depan lift. Beruntung hanya dirinya saja yang ada di sana.
Ketika seseorang membukakan pintu restaurant itu untuknya, Yein hanya melihat ada banyak kursi kosong yang berjajar. Setiap langkahnya penuh asumsi. Terlebih ketika senyum seorang Kim Yugyeom menyambut semringah. Pria itu mengenakan jas resmi mewah warna hitam yang terlihat begitu berlebihan jika hanya dipakai untuk makan malam berdua. Terlebih dekorasi ini. Sepanjang jalan digelari karpet merah lengkap dengan vas berisi mawar putih yang diletakkan di sekelilingnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Not Mine [√]
FanfictionKami sedekat nadi, kami bersama, kami saling berbagi, kami saling menyayangi, Tapi Dia...bukan milikku