Bel pulang di hari Selasa dibunyikan, semuanya berhamburan ingin pulang. Termasuk Alesya yang sudah merapatkan sweternya. Katanya, udara sore ini cukup dingin, sehingga ia tidak biasanya mengenakan sweter saat pulang. Kini ia sedang berjalan menuju kelasnya Audrey, teman dekat rumah Alesya, untuk pamit pulang duluan. Biasanya mereka beberapa kali pulang bersama, walau tidak selalu.
"Diz, Audrey mana?" tanyanya pada Diza yang berada di dalam kelas 11 IPA 3 yang masih cukup ramai.
"Lagi di ruang OSIS dari jam pelajaran ke tiga, kenapa Al?" jawabnya mengahampiri Alesya.
"Bilangin ya, gue duluan, gue juha nggak ekskul," ucap Alesya pelan.
"Oh, iya. Sip," jawabnya mengacungkan jempol.
Alesya pergi dan berjalan pelan melewati koridor, namun suara seseorang mengagetkannya. Gerak-gerik Alesya seperti seorang maling yang sedang mencoba kabur. Padahal tadi ia sudah izin dengan Bagas selaku ketua ekskul.
"Le!"
Alesya terdiam dan menolehkan wajah, Darren mengahampiri.
"Lo nggak ekskul? Kenapa balik?" tanyanya heran.
"Mau istirahat. Bilangin ya, gue udah izin juga ke Bagas. Soalnya Shawn Mendes nggak ngizinin ekskul hari ini," ucapnya drama.
Darren mengangkat alisnya.
"Wah mimpi, nggak beres. Sakit nih gue rasa." Darren menempelkan tangannya ke dahi Alesya.
Tapi Alesya menolak, ia menjauhkan dari tangan Darren yang hanya sekenanya menyentuh dahi Alesya. Kenapa saat Bagas menyentuh dahinya ia tidak bisa berontak, seolah ada sihir yang membuatnya diam. Darren diam memandangi Alesya. Heran dengan cewek ini. Nggak berubah. Walau sedang tidak enak badan, masih saja bisa menutupinya. Darren sudah hafal, walau Alesya sedang tidak fit, pasti sampai di rumah, basket komplek rumahnya tetap main.
"Yaudah, balik aja. Nanti gue izinin lagi ke Bagas," katanya sambil menyentuh pundak Alesya pelan. Alesya mengangguk pasrah.
"Gue mau ke sana ya, dah banyak yang dateng." Darren pun pergi menuju kelas yang dipakai untuk ekskul musik.
Alesya duduk sebentar di koridor 11 IPA 2 yang masih bersebelahan dengan 11 IPA 3. Mencari kontak Kak Andi, sang kakak untuk menjemputnya, kemudian menekan tombol call.
"Lo di mana, Kak? Halo? Kak Andi?!" di sebrang sana panggilannya tersambung tapi tak ada suara.
"Woi, iya? Kenapa Le? Ale?"
"JEMPUUUTTT!"
"Lah, lo bukannya ekskul? Gue uda di kampus, nih. Minta anter Darren aja sih. Dah ah, ada dosen nih, bye."
Sambungan dimatikan.
"Ngeselin banget anjir kalo lagi dibutuhin!" umpat Alesya tak memperdulikan sekitar.
Tadi, kenapa Darren tidak peka untuk mengantar Alesya pulang, ya? Atau apakah memang pemuda itu sudah luruh perasaannya kepada Alesya. Pun kalau dipikir lagi, Alesya juga tidak berharap akan diantar oleh Darren juga. Ia ingat, kakaknya pernah bilang, "kalau mau balik, telpon gue aja." Entah itu sebatas kata-kata, karena moodnya sedang bagus sebab habis dapet sneakers baru atau hanya sekedar omong kosong. Entah. Segera Alesya memasukan hpnya ke saku rok dan berjalan dengan kesal menuju gerbang sekolah.
Pemuda di depan 11 IPA 3 itu mancari kunci motornya, juga merapihkan keadan dasinya. Kemudian berucap pelan pada lawan bicaranya.
"Bentar, ya," ucapnya langsung pergi pada temannya yang sedang asik berbicara padanya.
-tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
ALESYA [SELESAI]
Teen FictionBagaimana jika seorang pangeran dapat jatuh cinta kepada upik abu? Dengan segala ketidaksengajaan semua dapat terjadi. Bersama Alesya akan diceritakan seorang upik abu yang beruntung mendapatkan cinta pangeran. Dengan balutan cerita anak SMA. (Cerit...