Tim paduan suara yang mewakili sekolah Alesya telah tampil atas nomer urut ke 5 dari 20 peserta. Setelahnya mereka dibebaskan untuk mendatangi stan-stan yang tersedia. Kerena memperingati hari jadi fakultas musik maka dari itu pihak Universitas mengadakan lomba. Juga dari fakultas-fakultas yang lain ikut berpartisipasi untuk mendirikan stan-stan—yang lebih terlihat seperti pameran.
Anak-anak paduan suara yang lain sudah mencar tak tahu kemana. Yang Alesya tahu Bagas pergi bersama Echa, Inara, Ferdi. Sisanya junior-junior yang juga pergi bersama temannya. Menyisakan Alesya yang masih bengong di kursi penonton, juga teringat soal WhatsApp kakaknya tadi.
Dia bilang, di kampus ini ada teman kakaknya jurusan Sastra Indonesia yang menjaga stan, yang pasti mereka memamerkan buku-buku hasil penulisan mahasiswa dan mahasiswi sini, Alesya jadi penasaran.
"Woi," panggil seseorang yang membuat Alesya jadi menoleh. Ada Darren yang sedang mengunyah brownisnya Echa yang sempat ditawarkan saat dimobil tadi.
"Keliling sama gue, yuk?" tananya sambil menghempaskan tubuh dikursi samping Alesya.
"Kuy!" sergah Alesya. "Anterin gue nyari stan anak sastra!" kata Aleysa seraya menarik lengan Darren yang jadi tersedak akibat terkejut.
Mereka mengelilingi stan-stan yang ada. Beberapa kali mampir di stan yang menurut mereka menarik. Tadi sempat mampir ke stan dari jurusan tata boga dan Alesya beli banyak es krim dan coklat-coklat mini di sana.
Darren yang melihati hanya geleng-geleng saja. Ia menawarkan coklat dan es krimnya, tapi Darren menggeleng. Dan sampai lah mereka di stan anak sastra. Banyak berbagi macam buku-buku yang dipamerkan di sana. Alesya menghampiri dan melihat-lihat ke bagian sebelah kiri, Darren ke sebelah kanannya.
Batin Alesya, rasanya mau ambil semua buku-buku yang ada di sini saja. Ia menyentuh buku yang berwarna coklat dan marun tersebut, dan jadi mengamati.
"Ini kayaknya Kak Andi punya deh bukunya," gumam Alesya. Buku bercover biru muda tersebut bertema soal motivasi.
Saat Alesya ingin menoleh dan menghampiri Darren, namun seorang pemuda tak sengaja hampir jatuh membuat Alesya jadi kaget. Alesya mengerjap-ngerjap dan pemuda itu jadi meminta maaf.
"Eh, sori-sori," ucapnya merasa tidak enak.
Alesya mengangguk. Pemuda jangkung berkumis tipis itu jadi diam menatap Alesya dalam-dalam.
"Alea, ya?" tanyanya menunjuk Alesya. Alesya menggeleng kikuk. Antara takut, bingung dan senang. Takut pemuda jahat yang bisa menculiknya. Bingung, orang ini siapa, hingga ia hampir tahu namanya. Senang, karena pemuda ini manis sekali.
"Eh, Alesya?" tanyanya lagi. Alesya tersenyum kaku dan mengangguk membenarkan.
Darren yang lagi asik baca-baca sinoposis buku mendengar percakapan hingga terdengar ke telinganya, jadi menoleh.
"Adiknya si Andi kan, ya?" tanyanya sekali lagi untuk memastikan. Alesya mengangguk lagi, dan mulai buka suara.
"Kakak temennya Kak Andi yang diceritain itu, ya?" tanya Alesya takut-takut. Yang kakaknya bercerita tadi, temannya itu yang menjaga stan fakultas sastra. Jadi orang ini temannya Kak Andi.
Pemuda itu mengangguk.
"Iya, gue temennya. Aji?" pemuda itu mengulurkan tangannya meminta Alesya untuk menjabat tangannya.
"Alesya," balasnya.
"Lain kali nggak usah manggil kakak, biasa lo-gue ke Andi juga, kan?" kata pemuda itu tertawa kecil. Alesya jadi tambah kikuk.
Kan dibilang, Alesya paling tidak bisa bersosialisasi dengan orang baru dengan image yang non-jaimnya itu. Butuh waktu yang agak lama agar orang itu terbiasa dengan tingkah yang non-jaimnya agar tidak kaget. Lagi-lagi didepan orang baru ia harus jaga imagenya. Kelakuannya yang non-jaim itu harus dipinggirkan.
Kepada Darren, karena mereka sudah kenal cukup lama, mau tingkah Alesya bagaimana juga, Alesya sih bodoamat. Yang penting, lo udah kenal gue lama, udah tau gue. Seperti itu prinsipnya.
"Ya, kan nggak sopan, hehe," ucap Alesya tertawa pada hal yang tidak lucu sama sekali.
Mereka bertiga jadi keliling melihat-lihat kampus ini. Namun, karena lelah ketiganya duduk dikursi kampus yang mengarah ke lapangan.
"Sebenernya mereka yang pinter nulis kata-kata dengan kosakata berat itu hasil dari baca buku. Mereka sendiri yang mendoktrinkan mau baca yang genrenya gimana, secara tidak sadar, lama-lama kalimat yang mereka susun juga bakal kayak gitu," jelas Kak Aji panjang lebar.
Alesya yang menyimak sampai terbengong-bengong. Terhipnotis dengan ucapan-ucapan berliannya. Darren sih sedang baca buku gratisan dari stan tadi. Setiap orang yang mampir akan dapat satu buku gratis. Tapi, sebenarnya diam-diam Darren memperhatikan tingkah si 'gadis rangers' itu.
"Coba deh, lo sekali-kali baca buku essai-essai sejarah biar lo tau masa lalu kayak apa," lanjutnya riang.
Alesya jadi membelalakan mata. Pikirannya, pemuda ini cerdas, ia dan Alesya sama. Sama-sama mempunyai satu kesukaaan. Sama-sama suka buku. Namun digenre yang berbeda.
"Aku nggak terlalu suka sih sama buku-buku yang kosakatanya tinggi gitu, soalnya apa ya? Aku harus siapin kamus Bahasa Indonesia dulu baru bisa baca," kata Alesya polos. Pemuda itu jadi tertawa. Tapi, memang Alesya berbicara apa adanya.
Apalagi kalau minjem bukunya Kak Andi, pasti kamus tersebut harus sekalian ia pinjam agar mengerti.
"Tapi Bang, kalo misalnya bikin puisi itu harus melankolis ya biar ngefeel jadi puitis?" sambar Darren memotong pembicaraan Alesya dengan Aji.
"Ya buat puisi itu nggak harus melankolis baru ngefeel puitis, dari gue pribadi sih puisi puitis tercipta dari kondisi lo saat itu," ujarnya tenang sambil meneguk air mineral yang hampir habis itu, "..contoh, lo galau terus lo tulis jadiin puisi, karena lo pake feel terciptalah puisi lo yang puitis."
Darren yang mendengar penjelasan Aji jadi mengangguk-angguk. Namun, dering telpon seseorang mengaggetkan diantara mereka. Ternyata sumbernya ada di Aji, kemudian ia mengangkatnya.
"Oh, iya iya gue kesitu," tukas pria itu segera memasukan handphonenya ke saku.
"Gue harus balik ke stan nih," kata pria itu seraya mejulurkan tangannya dan dibalas tos oleh Alesya dan Darren. "Stan nggak ada yang jaga. Duluan Al, Darr!" ucapnya sambil berjalan menjauhi keduanya.
"Hati-hati," balas Alesya.
"Iyo," tambah Darren.
Keduanya saling merlirik. Menyadari suara yang menggema sudah hampir pengumuman lomba. Darren dan Alesya memutuskan kembali ke tempat mereka berkumpul tadi.
"Ck, sok jaga image tadi," celetuk Darren tiba-tiba membuat Alesya yang tenang jadi menoleh.
"DIAM!" sahutnya tidak terima. Alesya mengerti apa maksud ucapan Darren.
"Biasanya juga malu-maluin. Karcis parkir dihilangin, ya kena denda," lanjut Darren masih menggodai Alesya dengan mengingat kejadian dulu mereka.
"Anda diam saja, bisa tidak?" tukasnya kesal. Darren jadi gemas melihat gadis berpipi bulat ini yang baru tiga hari kemarin rambutnya jadi pendek sebahu ini.
"Kenpaa sih sama orang baru tuh nggak bisa apa adanya? Lo yang nggak bisa diem malah aneh kalo tiba-tiba diem," sambung Darren bertanya-tanya.
"Nggak bisa, gue emang gini sama orang baru. Gue bakal apa adanya kalo semua udah berjalan lama dan apa adanya, kayak gue ke lo dulu," jawab Alesya menegaskan.
Yang diucapkan oleh Alesya memang benar. Yang dibutuhkan hanyalah proses bagaimana menjadi biasa. Bisa karena biasa. Waktu yang menentukan semua yang terjadi bisa apa adanya. Begitu prinsip yang Alesya pegang.
Waktu kepada Darren, sama seperti itu. Agar orang baru tersebut tidak terkejut melihat tingkah non-jaimnya Alesya. Proses pembiasaan itu yang Alesya utarakan kepada orang baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALESYA [SELESAI]
Teen FictionBagaimana jika seorang pangeran dapat jatuh cinta kepada upik abu? Dengan segala ketidaksengajaan semua dapat terjadi. Bersama Alesya akan diceritakan seorang upik abu yang beruntung mendapatkan cinta pangeran. Dengan balutan cerita anak SMA. (Cerit...