Prolog

1.6K 43 4
                                    

"Non..." panggil deka dengan wajah gamangnya.

"Apa kacung?" Nona menanggapi panggilan deka dengan candaan khasnya.

"Sial loe, kalau ngomong serius dikit dong." Kesal deka, ia melemparkan bantal yang sedari tadi menumpu kepalanya. Bantal itu tepat mengenai belakang tubuh nona yang sedang asyik bermain game di ponselnya.

"Aahh.. kalah kan. Loe sih." Nona melempar balik bantal tersebut kepada deka.

"Loe aja yang mainnya gak becus, segala nyalahin gue."

"Ngomel mulu loe kaya emak-emak gak punya beras, stroke baru tau rasa loe. Emang jongos gue mau ngomong apa? Sok penting loe." Cibir nona yang kini sudah mendaratkan bokongnya di sofa tempat deka berbaring. Ia mengangkat kaki kanannya untuk membersihkan kuku kakinya.

"Kita jadian yuk." Cetus deka.

"Bwahhahahahaha..." Nona tertawa terbahak-bahak mendengar ajakan deka. Ia bahkan memegang perutnya karena terlalu lama tertawa. Nona tidak percaya ada kalimat semacam itu keluar dari mulut seorang deka, sahabat yang dari bayi selalu bersamanya. Membayangkannya saja tidak pernah, lalu dari mana deka punya ide gila seperti itu? Pikir nona.

"Kenapa loe?" Tanya deka sedetik setelah nona berhenti tertawa.

"Loe yang kenapa?"

"Gue sehat." Jawab deka polos.

"Dodol. Maksud gue, loe kenapa ngajakin gue pacaran? Keabisan stok cabe loe?"

"Kalau loe lagi ngomong rasanya pengen gue sumpel pake keong racun mulut loe. Jadi cewe ga ada manis-manisnya sama sekali." Darah deka kembali bergejolak menahan rasa kesalnya. Temannya yang satu itu memang tidak pernah bisa di ajak bicara serius.

"Alah.. gini juga loe demen kan? Buktinya loe ngajakin gue pacaran." Nona mencubit pipi deka dengan sangan keras. Namun bukannya kesakitan, deka malah menunjukan cengiran bodohnya.

"Iya sih, jadi gimana?" Deka tidak mengelak, dia bukan orang munafik. faktanya deka memang menyukai nona.

"Emang cewek-cewek ganjen yang suka ngintilin loe dari SMA pada kemana?"

"Maksud loe fans-fans gue?" Deka mulai bersemangat dengan pembahasan nona barusan. Ia bahkan bangkit dari posisi berbaringnya menyilangkan kakinya atas sofa.

"Fans? Jadi cabe-cabean itu fans loe?" Nona ikut-ikutan menyilangkan kakinya menghadap deka. Kini mereka berhadapan dan saling tatap-tatapan.

Semasa SMA deka memang banyak digilai kaum hawa, itu tidak lebih karena wajah dan postur tubuhnya yang sempurna. Tapi kalau di tanya masalah otak, jawabannya nol. Deka memiliki IQ standar, lebih rendah sedikit dari nona.

Sedangkan nona, ia lebih banyak bergaul dengan para pria. Teman wanitanya bisa dihitung pakai jari, itupun ia kumpulkan dari belum sekolah sampai sekarang. Kalau teman laki-lakinya, jika dibariskan dalam antrean itu akan mencapai beberapa kilometer.

"Nggak penting."

"Ngga penting pale loe, gue sering kena serang di sosmed gara-gara loe kuya."

Fans-fans deka merasa cemburu karena deka selalu mengekor nona. Deka hanya bisa bercanda dan tersenyum cuma untuk nona. Kalau orang lain, ia hanya akan menjawab iya, tidak, atau sekedar hmmm. Tidak pernah lebih dari itu. Alhasil nona lah yang jadi bulan-bulanan bagi fans deka yang alay tersebut.

"Siapa suruh main gituan. Jadi gimana mau ngga?" Deka kembali menatap mata nona dengan intens.

"Sory yes, loe bukan tipe gue. Gue ga suka cowo yang kalah segalanya dari gue. Cupu." Nona mencemooh deka yang nilainya tidak pernah bisa melampaui nona.

"Loe pernah belajar kimia kan? Dari nama aja udah jelas menang gue. Nona bernilai 9 dan deka 10. Tinggi, tinggian gue. Cakep, cakepan gue. Putih, putihan gue. Mancung, mancungan gue. Kurang apa lagi? Gue lebih segalanya dari loe." Puji deka pada dirinya sendiri. Walaupun itu sebuah fakta, tapi nona tidak mungkin mengakuinya.

Mengapa mereka bisa menggunakan nama yang biasa diapakai saudara kembar, itu karena mereka lahir di hari, bulan dan tahun yang sama. Hanya saja nona lahir satu jam sebelum deka di lahirkan, nona berarti sembilan dan deka berarti sepuluh dalam pelafalan angka pada rumus kimia. Intinya nona lahir jam sembilan dan deka lahir di jam sepuluh.

"Tapi loe ga lebih pinter dari gue. Dan gue ingetin sama loe, kita itu jebolan ips. Mana belajar begituan." Nona menjeda kalimatnya untuk berpikir hal apa lagi yang bisa ia jadikan senjata debatnya. "Loe inget nilai MTK kita di sekolah. Gue dapet 4,5 waktu ulangan sedangkan loe cuma dapet 4. Dan itu ga pernah berubah dari kita dari SD sampe kita lulus SMA. Lagian gue lahir duluan dari pada loe, jadi intinya gue yang menang."

Mereka Rumah mereka yang bersebrangan, hanya di sekat oleh jalan aspal selebar lima meter. Jadilah mereka sekolah di sekolah yang sama dari TK sampai SMA. Mereka sudah tidak bisa membedakan, mana rumah deka dan mana rumah nona. Kalau di rumah nona tidak ada makanan, ia dengan senang hati menggeledah dapur deka walaupun sang empunya tidak tau. Begitupun sebaliknya.

"Nilai empat setengah aja bangga." Cibir deka.

"Dari pada loe cuma 4." Balas nona.

"Yaudah kita taruhan." Putus deka. Deka sendiri pria yang tidak mudah menyerah, ia yakin kalau nona bukan tidak menyukainya, ia hanya ragu. Makannya ia melakukan segala cara untuk meyakinkan nona kalau hubungan mereka akan berhasil, termasuk dengan cara membuat taruhan dengan nona.

"Yaelah ga kapok loe kalah dari gue terus?"

"Mau ngga?" Deka kembali emosi karena selalu mendapat bantahan dan ejekan dari nona.

"Apa?"

"Kalau gue bisa menangin 3 hal dari loe, loe harus jadi pacar gue. Dimulai dari jabatan kita di kantor, bagi yang diterima dengan jabatan paling tinggi dia pemenangnya." Tantang deka.

Mereka memang baru lulus SMA, namun mereka memutuskan untuk mencari pengalaman kerja dengan melamar di perusahaan. Modal nekat memang, mereka hanya lulusan SMA dengan nilai pas-pasan tapi mereka melamar ke perusahaan besar yang saingannya para lulusan sarjana kelas wahid. Tapi bukan deka dan nona kalau tidak nekat. Mereka lebih senang bersikap seenak jidat mereka dari pada memikirkan ketakutan yang membuat mereka menciut.

Kalau di tanya tentang kuliah? Bukannya tidak minat untuk kuliah, hanya saja mereka belum terlalu memikirkannya.

"Jangan mimpi loe."

"Loe takut?" Sinis deka. Ia sangat paham karakter sahabatnya itu. Nona paling tidak bisa di tantang, apalagi di ejek kalau dia takut. Tanpa memikirkannya ia akan langsung menjawab iya.

"Sorry ga ada kata takut dalem kamus gue, apa lagi lawannya elo. Tapi apa untungnya buat gue kalau loe tetap kalah?"

"Kalau gue kalah, loe bisa minta apapun ke gue. Termasuk tiket ke barcelona, gue beliin sekalian tiket nonton barca. Tapi kalau salah satu dari kita nyerah di tengah jalan, baik itu loe atau gue. Yang minta nyerah harus siapin tiket pulang pergi ke satu negara di dunia selama seminggu. Dan gak ada pengecualian."

"Hmmm..." nona nampak gamang.

"Jadi?" Tanya deka memastikan. Ia mengulurkan tangan kanannya dan di sambut tangan kanan nona.

"Deal."

🛵🛵🛵

TBC...

Nona Vs Deka ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang