"Pagi pak keramat." Sapa nona dengan senyuman lebar, khas seseorang yang sedang cari muka.
"Ngapain sih kamu sering banget ke divisi ini? Setau saya kamu ga ada urusan disini." Pak keramat menatap nona dengan tatapan penuh ketidaksukaannya. Tubuhnya ia sandarkan pada kusen pintu yang terbuka.
"Bapak kayanya gantengan deh." Celetuk nona tanpa mempedulikan gerutuan dari pak keramat.
"Masa?" Mata keramat menunjukan seberkas binar yang pertama kali di lihat nona. Bibirnya terangkat, menunjukan seutas senyum yang coba ia tahan. Pak keramat membetulkan posisi bersandarnya menjadi sikap sempurna.
"Iya pak, soalnya mata saya abis kelilipan. Jadi agak rabun-rabun sedikit."
Mata dan senyum pak keramat yang seminim rok caddy di lapangan golf itu sirna, berganyi dengan amarah yang merangkak sampai ke ubun-ubunnya.
"Kurang ajar kamu."
Brakkkkk....
Pak keramat membanting pintu dengan sangat keras. Sepertinya itu menjadi ritual wajib kala nona mampir ke divisi itu dan tidak sengaja bertemu pak keramat.
"Kontrol emosi lah bos. Kalau ga, besok kau akan berakhir di kursi roda, dengan kepala menggleng, lidah keluar, mata merem sebelah, tangan bengkok, terus..."
Ucapan nona yang berlogat batak tersebut harus di stop paksa oleh bekapan dari tangan nurma.
"Parah banget loe nyumpahin orang tua. Ntar kalau dia stroke beneran gimana?"
"Hai amao." Yang diceramahi malah tidak peduli. Rasa-rasanya kehidupan nona terlampau enteng hingga nurma tidak pernah melihat nona takut atau sedih, bahkan saat di bentak sekalipun. Nurma hanya tau dua ekspresi nona, yaitu marah dan senyum bak orang kurang waras.
"Napa? Cari deka? Dia lagi di kantor bu shelly."
Ucapan nurma membuat nona membeku seketika. Ia melupakan tentang taruhannya, tentang bu shelly dan demi. Nona merasa cubitan kecil itu kembali mendera hatinya. Namun nona tidak ingin itu menjauhkannya dengan deka seperti kemarin. Sebisa mungkin nona akan bersikap wajar, nona yakin kalau deka hanya menyukainya saja. Tidak akan ada ruang sekecil apapun untuk shelly masuk ke dalam hati deka. Setidaknya, keyakinan itu mampu mengelus hatinya yang tercubit.
Kebekuan itu tidak bertahan lama karena nona kembali tersenyum, mengelus rambut nurma bagai anak SD yang akan berngkat sekolah. Nona tidak ingin terlihat lemah dimata siapapun.
"Bilang gue nyariin ya amaoku yang ndut."
🛵🛵🛵
"Nona."
"Iya pak demi."
"Kita lunch di luar, ada hal penting yang ingin saya bicarakan." Ucap demi formal. Tentu saja, mereka masih ada di dalam kantor.
"Traktir?" Tanya nona berbinar.
"Iya."
"Lets go." Nona berjalan penuh semangat, sampai-sampai ia meninggalkan orang yang akan mentraktirnya.
🛵🛵🛵
"Kamu punya pacar?" Tanya demi dengan menatap serius pada wajah nona yang begitu fokus mengunyah ikan bakar yang dipesannya.
"Gue harap ada. Tapi paham lah, cuma orang gila yang akan menyukai wanita macem gue. Tentu aja gue gak mau pacaran dengan orang gila, jadi gue sih berharap ada orang yang khilaf yang ga sengaja buat nembak gue." Ucap nona terbahak.
Nona memang memiliki orang gila yang khilaf itu. Tapi deka hanya menyatakan perasaannya, belum ada ikrar kalau mereka menjalin hubungan lebih selain pertemanan. Lagi pula mereka sedang dalam misi taruhan. Taruhan? Nona kembali mengingat taruhan gila itu. Ia bahkan belum sempat menggoda demi. Kalau sekarang ia goda, tidak ada sensasinya. Karena nona dan deka sama-sama mengetahui dan yakin dengan perasaan mereka masing-masing.
"Kalau gitu saya orang gila itu nona, saya tidak khilaf. Saya benar-benar menyukai kamu, kamu menarik perhatian saya sejak pertama kita bertemu. Jadi maukah kamu menjadi kekasih saya?" Pinta demi dengan nada khas orang lamaran.
Nona nampak berpikir, menelisik raut wajah dan ekspresi anak bossnya tersebut. Hasilnya nihil, nona tidak dapat membaca apapun. Tentu saja, otak nona tidak mungkin bisa di ajak berpikir serius.
"Loe mau belajar nembak cewek? Ya ampun, ngobrol dong dem. Jadi gue akan berpura-pura anggun." Itulah satu-satunya hal yang terbersit di otak nona. Demi mau nembak seorang wanita yang nona yakini seorang yang lembut nan anggun, jadi demi gladi kotor dulu.
"Saya tidak butuh wanita anggun, saya menyukai kamu apa adanya."
Kalimat demi sama sekali belum di serap oleh otak nona.
"Apa?"
"Bukankah pak rahardjo sudah mengutarakan tentang perjodohan?"
"Itu serius?" Nona hampir saja menyemburkan sisa nasi yang masih tersisa di mulutnya. Alhasil nasi tersebut berpindah ke telapak tangan yang ia gunakan untuk membekap mulutnya.
"Saya tidak pernah bercanda tentang apapun nona." Ucap demi tegas, membuat nona merinding dibuatnya.
"Pak saya, saya milik orang lain. Maksud saya, saya menyukai orang lain." Ucap nona terbata. Ia bahkan mengganti bahasa santainya dengan formal.
"Deka?" Tebak demi.
Nona mengangguk pasti.
"Tapi dia sedang dekat dengan shelly, mereka serius dalam hubungan mereka."
"Tidak pak, mereka tidak serius." Sanggah nona.
"Dalamnya lautan masih bisa diukur, tapi dalamnya hati siapa yang tau nona. Oke mungkin dia bilang dia ga serius. Tapi keliatanya? Siapa yang tau kalau hati dia ternyata memilih shelly. Cuma dia takut menghancurkan hubungan persahabatan kalian." Demi mencoba menjadi minyak di tengah api kecil yang berkobar dalam hati nona.
"Deka ga kaya gitu." Tekan nona pada setiap kalimatnya. Semua yang melihatnya pasti tau kalau nona sedang marah. Tapi tidak pasti marah karena deka di jelek-jelekan oleh demi atau marah karena sedikit mempercayai apa yang diucapkan demi.
"Dari mana kamu tau?" Demi tak kalah sengit menekankan setiap kata pada kalimatnya.
"Karena saya dan dia punya taruhan."
"Taruhan?"
"Saya minta maaf pak. Saya dan deka saling mencintai, tapi dulu saya belum menyadari perasaan saya. Jadi dia berusaha mendapatkan saya dengan membuat taruhan untuk mendapatkan atasan salah satu atasan kami. Dan target saya adalah bos, dia bu shelly." Kalimat formal itu belum luntur dari bibirnya.
Penjelasan nona membuat demi berdecak, meremehkan kesungguhan perasaan deka pada nona.
"Laki-laki seperti apa yg mengaku mencintai wanita tapi malah menyuruh wanitanya mendekati pria lain. Pikir nona! lelaki seperti itu tidak mungkin mencinta kamu."
Mendengar penghakiman sepihak dari demi membuat nona benar-benar murka. Nona merasa demi tidak berhak menilai apapun dari seorang deka, sahabat yang dicintainya. Demi tidak mengenal baik deka, ia hanya rekan bukan juga teman. Nonalah yang lebih tau deka dan nona yakin deka hanya mencintainya.
"Bapak ga berhak bicara seperti itu tengang deka." Nona menggertakan meja dengan mencengkram sudutnya dengan begitu erat.
Demi menyadari kalau sekarang nona benar-benar marah. Ia tidak ingin nona membencinya hanya karena perdebatan tidak penting menyangkut deka.
"Saya minta maaf. Saya tidak akan memaksa kamu menerima cinta saya, tapi izinkan saya dekat dengan kamu. Setidaknya biarkan saya sampai menemukan wanita lain. Kamu boleh memanfaatkan saya untuk taruhan kamu." Ucapan demi mulai melembut. Mencoba sebaik mungkin untuk membuat nona kembali tenang.
"Terima kasih karena bapak sudah menyukai saya. Tapi saya hanya butuh bicara dengan deka untuk menyudahi taruhan itu." Nada bicara nona mulai melunak. Ia sadar tidak sepantasnya menghakimi demi. Semua orang berhak berpendapat, tinggal bagaimana nona yang memilih mempercayainya atau tidak.
"Baiklah jika itu yang kamu inginkan. Dan tolong berhenti memanggil saya bapak."
🛵🛵🛵
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Vs Deka ✔
RomanceBagaimana jika seorang sahabat yang sudah bersama sejak lahir, tiba-tiba mengajakmu pacaran? TK, SD, SMP, SMA mereka selalu berada di tempat yang sama dan mungkin itu pula yang membuat mereka saling jatuh cinta. Yaaaa, setidaknya salah satu dari mer...