Acara dan prosesi yang berjalan lancar membuat keduanya lelah, Veranda dan Keynal pulang ke rumah yang sudah disiapkan oleh kedua orangtua mereka, kedua keluarganya merencanakan perjodohan itu dengan baik hingga rumahpun sudah mereka siapkan.
Keynal melepas jasnya dan menyimpannya di sofa ruang tamu, dia membuka dasinya yang terasa mencekik lehernya, Keynal sedikit kesusahan membuka dasinya, dia terus berusaha hingga Veranda yang berada tak jauh darinya mendekati Keynal.
"Kenapa?" tanya Veranda
Itulah kalimat pertama yang Veranda katakan pada Keynal, sebelumnya mereka tak pernah berbincang atau berbasa-basi, selalu diam dan hanya saling menatap satu sama lain.
Keynal menatap Veranda, Veranda sudah mengenakan baju santainya, dia langsung mengganti gaun pernikahannya setelah acara selesai.
"Sedikit susah membukanya"
Veranda mendekat, dia membantu Keynal yang kesulitan membuka dasinya. Keynal mendongakkan kepalanya keatas, membantu Veranda untuk memudahkannya membuka dasi, dasi yang Keynal kenakan terlalu menarik keatas hingga sedikit sulit membukanya, dengan perlahan Veranda berusaha membuka, Veranda menarik sedikit kuat dasi itu hingga terlepas.
Keynal bernafas lega saat dasi itu terlepas, sejak awal dia merasa sesak dengan dasi yang mencekik lehernya bahkan efek dari dasi itu membuat leher Keynal sedikit memerah.
"Lehermu merah" ujar Veranda dan menyentuhnya
Repleks Keynal mundur, dia terkejut saat tangan Veranda menyentuhnya, Veranda bermaksud memastikan kalau leher Keynal baik-baik saja tapi ternyata sikapnya membuat Keynal terkejut, mungkin ini interaksi mereka yang pertama hingga membuat Keynal kaget.
"Sorry" ujar Veranda menyadari ketidak nyaman Keynal dengan sikapnya
"Oke, aku baik-baik saja, thanks" ujar Keynal dan menjauh dari Veranda
Veranda menarik nafasnya dan dia ikut meninggalkan tempat itu, tak mau ambil pusing dengan apa yang terjadi. Veranda berjalan menuju dapur, merasa perutnya lapar, dia membuat sesuatu untuk mengisinya.
Veranda melirik isi lemarinya yang sudah full dengan bahan makanan yang bisa dia masak. Veranda mengambil satu bungkus pasta, sudah lama dia tidak membuat pasta, Veranda menyalakan kompornya dan mulai membuat pasta kesukaannya.
Veranda menyiapkan beberapa hal untuk pastanya, Veranda melirik Keynal yang berjalan kearahnya.
"Kau lapar? Mau makan?" tanya Veranda
Keynal menggelengkan kepalanya, dia mengambil gelas dan membuat cokelat hangat untuknya.
"Tidak, aku hanya ingin membuat cokelat panas"
Veranda mengangguk, dia mengangkat pastanya yang sudah matang, Veranda meniriskan pasta itu kedalam piring, dia menarik kursi meja makan dan duduk disana, duduk tepat dihadapan Keynal.
Veranda asik dengan makanannya dan Keynal asik dengan minumannya, sesekali Keynal melirik Veranda yang sedang makan, ada ribuan pertanyaan dikepalanya, kenapa wanita seperti dirinya menerima perjodohan ini, apa yang membuatnya yakin dengan perjodohan yang entah memberikan kebahagian untuknya atau tidak, perjodohan yang masa depannya sangat tidak jelas.
"Veranda" panggil Keynal
Panggilan pertama Keynal untuk Veranda dan itu sedikit aneh untuknya.
"Ya?"
Veranda menatap Keynal, mereka saling bertatapan, Keynal sedikit ragu untuk bertanya padanya.
"Boleh aku bertanya?"
"Tentu"
"Kenapa kau menerima perjodohan ini?"
Veranda menatap serius Keynal, dia sedikit waswas mendapat pertanyaan seperti itu dari Keynal, dia sedikit takut kalau laki-laki itu menyesali pernikahan yang sudah mereka sepakati.
"Karena aku yakin kedua orangtuaku pasti akan melakukan yang terbaik untuknya"
"Apa kau tidak takut denganku? Seseorang yang tak pernah kau kenal sama sekali?"
Veranda menggelengkan kepalanya.
"Tidak"
"Kenapa?"
"Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku sangat percaya dengan orangtuaku"
Keynal terdiam, dia menatap lekat Veranda, Keynal tidak menyangka dengan sikap Veranda, wanita itu terlihat dingin dengan tatapannya tapi begitu mematuhi dan mempercayai orangtuanya, pertama kali Keynal melihatnya, Keynal mengira dia akan menolak dengan keras, dia akan membangkang atau melakukan sesuatu untuk menolak perjodohan itu tapi apa yang dia pikirkan salah, Veranda menerimanya dengan baik, tanpa protes atau banyak bertanya.
Keynal menyesap cokelatnya hingga habis.
"Kau tahu pernikahan ini hanya perjodohan, jangan terlalu berharap dengan pernikahan kita, aku tidak tahu masa depan seperti apa yang akan kita jalani nanti, kita sudah sepakat untuk menjalaninya tapi aku harap kita tidak menuntut satu sama lain, kita jalani semuanya secara apa adanya" ucap Keynal
Keynal beranjak, dia menyimpan gelas kotornya di wastafel kemudian masuk kedalam kamar. Veranda menatap Keynal yang berjalan menuju kamarnya, dia sendiri tidak mengerti kenapa menerima perjodohannya tanpa penolakan.
"Apapun yang terjadi, aku akan berusaha mencintaimu, mencintaimu sebagai suamiku, meskipun itu sulit"
Veranda menyimpan piring bekas pastanya di wastafel, kemudian masuk menuju kamarnya dan kamar Keynal. Sekalipun tidak ada cinta diantara keduanya, Veranda yakin perlahan perasaan itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu.
Veranda terdiam di depan pintu kamarnya dengan kamar Keyn, dia menarik nafas sebelum akhirnya membuka pintu itu dan masuk kedalam, Veranda melirik Keynal yang sedang duduk dengan membaca buku dikasurnya, Veranda terlihat kaku dan akhirnya berjalan menuju kasurnya dan duduk disamping Keynal. Suasana begitu hening, Keyn dengan bukunya dan Veranda dengan perasaanya yang tak menentu.
"Keynal"
"Ya"
"Boleh aku bertanya?"
Keynal menghentikan sejenak membacanya, dia melirik Veranda yang ada disampingnya.
"Tentu"
"Kenapa kau menerima perjodohan ini?"
Veranda bertanya hal yang sama, dia juga penasaran kenapa laki-laki itu tidak menolak perjodohan keluarganya.
"Tidak ada alasanku untuk menolaknya"
Veranda terdiam, jawaban Keynal tidak menjawab rasa ingin tahunya.
"Oke"
Keynal menyimpan bukunya di meja sampingnya, dia membaringkan badannya dan menarik selimutnya.
"Selamat malam" ucap Keynal sebelum akhirnya menutup matanya
"Selamat malam" balas Veranda
Dia masih di posisi semula, malam pertama untuknya tidur bersama dengan seorang lelaki- seorang lelaki yang sudah sah menjadi suaminya. Dulu dia pernah membayangkan malam pertamanya dengan suaminya akan menjadi malam yang tak terlupakan tapi sepertinya itu hanya bayangannya, karena suaminya sudah tertidur lebih dulu dengan memunggunginya.
Veranda membaringkan badannya, mencoba memejamkan matanya.
TBC