Hari ini.
Kenapa hubungan kami jadi susah begini? Jangankan bertemu, menelepon seperti kemarin-kemarin saja sudah tidak bisa. Uh, sial! Seandainya aku bisa bernego, biar saja aku dipukuli Daddy seperti kemarin, asalkan aku masih boleh bertemu Elea.
.
.
..
.Hari pertama kelas 9. Senang ternyata aku dan Elea satu kelas lagi. Dan mau tahu apa yang lebih hebat? Kami punya cara baru untuk saling menyapa.
.
.
.
.
.
Buruk! Ini benar-benar buruk. Perpisahan lagikah? Astaga, Tuhaaaan.
.
.
.
.
.Elea duduk di kelas 9B dengan harap-harap cemas. Di satu sisi ia merasa bahagia, tapi di sudut lain ia khawatir. Ia bahagia karena takdir membolehkannya satu kelas lagi dengan Milleo. Sedangkan khawatirnya, sampai detik ini Milleo tak memunculkan batang hidung.
Elea takut sahabatnya itu kenapa-kenapa. Mengingat ancaman Amaq di hari itu, rasanya Elea tak bisa membayangkan nasib Milleo. Bagaimana kalau lelaki itu benar-benar dihajar? Bagaimana kalau Amaq memang sudah melaporkan ayah Milleo ke polisi? Bagaimana kalau...
Ketika Elea dilanda resah karena memikirkan pertanyaan serupa, sosok yang dicemaskannya muncul. Milleo datang dari pintu depan dengan penampilan yang memprihatinkan. Luka kebiru-biruan di lehernya. Ujung mulutnya sedikit bengkak. Jalannya pun agak terseok.
Elea menatap Milleo dengan nanar. Ketika ia mengisyaratkan agar Milleo duduk di sebelahnya, lelaki itu menolak. Ia lebih memilih posisi biasa. Di arah barat timur dari Elea.
Bukan Milleo mau menghindari sahabatnya. Ia hanya sedang mencari jalan untuk kepelikan masalah ini. Ketika hari itu Milleo diancam Amaq, sepulangnya juga ia mendapat hadiah setimpal dari ayahnya. Ia digusur ke dalam rumah, dipecut oleh sabuknya yang maha tebal, dan diancam agar dirinya tak lagi menemui Elea.
"Ai, bisa kita bicara?" Sepulang sekolah Elea memberanikan diri menghadapi si Bule Karbit. Padahal ia tahu, seharian ini Milleo terkesan tak mau bicara padanya. Setiap Elea berusaha mendekat, ia pasti buru-buru menyingkir. "Lima menit aja."
Milleo bisa merasakan tatapan Elea yang penuh permohonan. Tetapi sebaliknya dari iba, Milleo justru malah berkata "Lain kali aja, ya."
Saat itu Elea merasa amat terluka. Tetapi siapa sangka, di keesokan harinya, alasan Milleo bersikap seperti itu terjawab oleh sepucuk kertas di kolong meja.
Elea, maaf kemarin Ai langsung pergi. Ai ngelihat Daddy di gerbang sekolah. Dia pasti mau mastiin kita nggak temenan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unread Book
General FictionUnread Book bukanlah buku biasa. Kemunculannya yang tiba-tiba laksana dinamit tanpa timer. Petir di siang bolong. Tahu bulat lima ratusan. Begitu mendadak! Padahal buku itu hanya berisi tulisan seorang bocah. Mengenai hari-harinya yang datar, jemu...