Bab 19

2.5K 516 82
                                    

Wanita berperut buncit itu tidak sedang mengawasi laporan pembangunan jaringan fiber optic ketika ponselnya berdering. Untuk alasan yang pasti, ia tidak mau menerima panggilan tersebut. Lantas ditolaknya saja telpon tersebut, diubahnya mode ponsel menjadi silent.

"Alean," panggil seseorang pada wanita berperut buncit. Nadanya cukup hati-hati. Tumben sekali. "Menurut gue, mending sekarang lo telpon Gara."

Alean tidak menjawab. Ia masih mengumpulkan kesadaran atas apa yang didengarnya dari dokter kandungan beberapa menit lalu. Hari ini memang jadwalnya periksa kandungan. Dan karena suaminya belum pulang maka mau tak mau ia ditemani orang yang menumpang rumahnya beberapa hari terakhir alias Bianca.

"Mau gue aja yang ngehubungi Gara?"

"Nggak!" tolak Alean cepat. "Biar gue aja."

Bianca mengamati Alean ketika perempuan itu malah diam. Matanya lurus ke depan, sementara tangannya mengusap-usap perutnya yang membukit. Bianca paham, Alean pasti masih shock atas kata-kata dokter tadi. Atas dasar pikiran itu ia lantas membimbing Alean duduk guna menenangkannya.

"Nih, minum dulu!" Bianca mengangsurkan botol air minum yang disimpannya di dalam tas. Dengan intens ia memastikan mantan musuhnya ini mengeksekusi air. Setelah wanita berbadan dua itu terlihat lebih tenang, ia berkata, "Udah siap bilang sama Gara?"

Alean mengangguk. Ia meraih ponsel di dalam saku kemudian mengetikkan nama lelaki itu. Pada percobaan pertama, panggilan tidak diangkat. Begitupun yang kedua dan ketiga. Hal itu sontak membuat Alean kalut. Dengan kekhawatiran yang masih bercokol, juga kekesalan yang kini membumbung, tanpa sadar air matanya longsor.

Gara, kamu di mana? ia mengirim pesan tersebut. Air matanya semakin jatuh dan napasnya mulai sesenggukan. Dengan tangan gemetar ia kembali mengetik, Kalau kamu udah baca pesan ini, secepatnya aku tunggu di rumah. Barusan aku habis kontrol kandungan. Ada masalah dengan bayi kita.

*
*
*

Di waktu yang sama. Di tempat Eva.

Wanita berkacamata itu masih tercenung dalam diam. Ia mencoba menggali memori di masa lalu. Ia pun mengaitkan pertanyaan yang membuatnya pusing beberapa hari terakhir.

Benarkah Milleo dan Elea pernah melakukan 'itu' sehingga Elea hamil? Itulah kalimat bersoal yang paling sering terngiang. Setengah hatinya percaya, tapi sebagian lain menolak.

Eva sangat ingat, beberapa minggu sebelum ujian, hubungan Elea dan Milleo renggang. Saat itu Eva menebak kalau keduanya sudah menyerah lantaran ayah mereka masih keukeuh di pendirian masing-masing.

Eva juga tidak pernah lupa, sikap Elea saat itu agak lain. Ia bukan saja menjauhi Milleo, ia pun selalu menghindari semua orang, termasuk dirinya. Setiap kali Eva mencoba mendekat, gadis itu akan menjauh. Dan terhadap Milleo, sikapnya jauh lebih tidak bersahabat.

"Kamu abis ngapain Elea sih, Aim?" Eva bertanya saat itu.

"Ngapain gimana maksud kamu?"

Eva tersentak. Jawaban Milleo jauh dari ekspektasi. Nadanya terkesan marah, wajahnya pun kelihatan geram. Tentu saja Eva tidak tahu, sebenarnya saat itu Milleo sedang merasa serba salah. Setelah hari itu ——hari tragedi kalau kata Elea——perempuan itu benar-benar menjauhinya. Ia terkesan marah setiap didekati, dan ... kelihatan jijik.

Demi Tuhan, Milleo merasa bersalah atas kejadian di hari tragedi. Ia paham mengapa Elea menghindarinya. Ia pasti sangat benci pada Milleo! Tetapi, sebenci itukah Elea sampai-sampai ia merefleksikan kemarahannya pada semua orang?

Elea seperti tidak peduli dengan sekitar. Ketika murid kelas 12 IPA 4 bikin onar dan ia kena tegur Pak Mus, Elea tidak bereaksi seperti dulu. Ia seperti masak bodoh dengan segala kegaduhan yang diciptakan penghuni kelasnya.

Unread BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang