Hari ini. Semua terjadi di luar dugaan. Aku harap, dua musuh ini tidak akan memisahkan aku dan Elea.
.
.
.
.
.Elea terperanjat ketika menginjakkan kaki di lantai kelas. Secara mendadak, Galuh tersungkur di hadapannya. Badannya ambruk, kemejanya lusuh, dan air mukanya menyiratkan kengiluan.
“Hajar lagi, Mil! Abisin!”
Elea semakin kaget ketika sorak sorai kelas mengaumkam nama sahabatnya. Dan pihak yang bersangkutan, muncul dengan beringas di antara gerombolan. Air mukanya lebih keruh dari genangan sisa hujan. Alisnya bertautan, nyaris membentuk huruf X. Deru napasnya kasar. Kepalan tangannya bergetar hebat.
“Ai, berhenti!” pekik Elea tepat ketika bogem mentah Milleo berjarak satu senti dari pipi Galuh.
“Kali ini bukan saya yang mulai,” kata Galuh tanpa diminta.
Ketika Elea menoleh pada Milleo, remaja berambut hitam kecokelatan itu hanya menunduk. Persis seperti maling ketangkap basah. Aih, Milleo memang selalu begitu jika perkelahiannya terinterupsi. Tidak ada tanda dirinya hendak membela diri.
“Milleo marah gara-gara Galuh bilang Anggun lebih pinter dari kamu,” Bimo angkat suara, semua murid mengiyakan.
Elea ingin mendengar kejadian dari sudut Milleo. Dan ketika ia memandang ke arah matanya, konfirmasi jawaban Bimo melintas di sana.
“Tempramen banget sih Milleo!” celetuk Anto.
“Lagian konyol juga nih Galuh sama Milleo. Anggun dan Elea aja biasa-biasa aja, tuh,” timpal yang lainnya.
Galuh bangkit sambil membetulkan kerah kemejanya. “Emang Anggun yang lebih pinter, kok. Kemarin waktu saya dipanggil wali kelas, saya lihat semua guru muji-muji Anggun. Dan bagi rapor nanti, dijamin dia yang bakal ranking satu.”
Lagi, Milleo menerjang ke arah Galuh. Ia mencengkeram kerah bajunya, mengangkatnya tinggi-tinggi, dan siap menjotosnya lagi.
“Daripada pukul-pukulan gini,” kata Galuh sambil menjauhkan tangan Milleo. “Kita taruhan aja gimana?"
"Apa maksudnya?" sentak Milleo.
"Kalau Anggun nggak rangking satu, saya bayarin kau jajan selama satu semester.”
Semua murid bersorak. Dan seperti biasa, Bimo yang berani angkat suara. Dengan lincah ia menambahkan, "Dan kalau Elea gagal, Milleo yang mesti traktir Galuh selama satu semester."
“Kita nggak usah taruhan pake materi,” desis Milleo. "Toh, duit yang dipake punya bapakmu."
"Bilang aja kau takut, Mil. Makanya nggak berani."
“Kita taruhan pake pipi,” tukas Milleo.
“Cihuy, pipi! Buat dicium Anggun atau Elea, nih?”
Semua murid——kecuali Elea dan Milleo—— terbahak mendengar kata-kata Bimo. Sebagian bersiul-siul, sebagian lain hanya geleng-geleng kepala.
“Buat ditonjok seratus kali,” imbuh Milleo.
“Ai!” sentak Elea tak terima.
“Setuju,” jawab Galuh. “Yang jagoannya nggak ranking satu, harus siap ditonjok seratus kali.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Unread Book
Fiksi UmumUnread Book bukanlah buku biasa. Kemunculannya yang tiba-tiba laksana dinamit tanpa timer. Petir di siang bolong. Tahu bulat lima ratusan. Begitu mendadak! Padahal buku itu hanya berisi tulisan seorang bocah. Mengenai hari-harinya yang datar, jemu...