Hari ini. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau telepon umum bisa sangat berguna. Karena benda inilah aku bisa mendengar kembali suara Elea.
.
.
.
.
.Sejak pertemuan tak terduga itu Elea dan Milleo kena getahnya. Mereka bukan saja dimarahi, mereka pun diintimidasi agar saling menjauhkan diri.
“Mulai sekarang jauhi anak itu!” damprat ayah Elea ketika mereka sampai di rumah. Kebanggaan atas pencapaian Elea hari itu seperti menguap tanpa sisa.
“Kenapa kau nggak pernah bilang kau berkawan dengan anaknya si Orang Bodoh itu?” Kalau itu kata ayah Milleo. Selain ditegur wali kelas lantaran kebandelan anaknya tak kunjung reda, ia pun harus bertemu musuh bebuyutan. Lengkap sudah kenapa darahnya makin menggelegak.
Ayah Elea dan ayah Milleo sama-sama mengibarkan bendera perang. Keduanya memuntahkan amarah terhadap anak mereka. Bukan saja larangan untuk saling mengenal, segala akses pun ditutup.
Elea merasa amat tersiksa. Ia dan Milleo tidak punya urusan atas masalah orangtua mereka. Kenapa mesti kena dampaknya? Persahabatan mereka murni karena hubungan yang terjalin. Tidak ada niatan untuk memanipulasi. Tidak juga segala kedok orang dewasa.
Kini Elea dan Milleo tak bisa saling bertemu. Selain karena masih libur sekolah, celah mereka bertemu pun tak bersisa. Sering Elea pura-pura merapikan jajakan di warung ——dengan harapan Milleo tiba-tiba muncul——tapi usahanya itu sia-sia belaka.
Milleo pun sebenarnya tak tinggal diam. Setiap hari dirinya menunggu-nunggu kehadiran Elea. Dan ketika sahabatnya itu keluar, kesempatan itu seperti raib begitu saja. Pasalnya, ayah Elea sudah tegak di depan pintu sambil melotot ke arahnya.
Baik Elea maupun Milleo, keduanya sama-sama dirundung rindu mendalam. Setiap malam sebelum keduanya terlelap, mereka akan memandang keluar jendela. Menatap kelamnya langit, menyampaikan rindu lewat dewi malam dan bintang-bintang.
*
*
*“Mau ke mana?” tegur pria itu ketika Milleo melewatinya di ruang tamu.
“Ke lapangan. Bosan di rumah terus.”
“Awa kalau kau ketemu anak itu,” ancam ayahnya. “Daddy hajar kalau ketahuan.”
Kalau ketahuan, ulang Milleo dalam hati. Sambil memakai sandalnya, ia menguat-nguatkan hati. Tekadnya sejak semalam sudah begitu jelas. Hari ini, apapun yang terjadi, dia dan Elea harus bertemu.
Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Masa libur sudah hampir habis, tapi tak sekalipun keduanya bersua. Nanti kalau sudah masuk sekolah, bisa jadi mereka beda kelas. Itu jelas bukan sesuatu yang baik.
Seperti kemarin-kemarin, Milleo datang secara mengendap-endap. Kalau biasanya ia sembunyi di semak-semak, maka hari ini ia berlindung di dalam telepon umum. Ia hanya menyayangkan satu hal di sini. Sampai sebegitu dekat hubungannya dengan Elea, ia belum tahu nomor teleponnya. Selama ini Milleo tak pernah mengira akan memanfaatkan fasilitas telekomunikasi ini. Buat apa mahal-mahal telpon? Kalau mau dengar suaranya, lebih baik langsung ketemu. Begitu ledeknya sebelum kekacauan ini terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unread Book
General FictionUnread Book bukanlah buku biasa. Kemunculannya yang tiba-tiba laksana dinamit tanpa timer. Petir di siang bolong. Tahu bulat lima ratusan. Begitu mendadak! Padahal buku itu hanya berisi tulisan seorang bocah. Mengenai hari-harinya yang datar, jemu...