Hari ini.
Vaarwel, Mataram.
Vaarwel, Elea..
.
.
.
.Belum pernah semalas ini Elea pergi ke sekolah. Langkahnya loyo. Hatinya pilu. Matanya perih menahan tangis.
Berita ditangkapnya ayah Milleo menyebar sejak kemarin. Semua teman berbondong-bondong melakukan pergunjingan. Baik sebelum masuk, ketika istirahat, maupun jam pulang. Di satu sisi Elea lega karena Milleo tak masuk sekolah, sehingga sahabatnya itu tak perlu mendengar kata-kata mereka. Tapi di sudut lain, Elea merasa khawatir sekaligus malu jika harus bertatap muka.
Seminggu yang lalu Milleo memintanya bicara pada Amaq. Bilang agar Amaq memaafkan kesalahan ayah Milleo. Tapi jangankan sempat bicara, rupanya Amaq keburu menemukan surat-surat Milleo selama ini. Dan bukan main marahnya Amaq saat itu. Seandainya tak ingat kalau Elea adalah putri kesayangannya, barangkali telapak tangannya akan mendarat di pipi.
“BERAPA KALI AMAQ HARUS BILANG?! JANGAN DEKATI ANAK ITU!” gertak ayah Elea begitu murkanya.
“Apa salahnya Elea temenan sama Ai?” jawab Elea sambil menangis. Semua surat kiriman sahabatnya langsung dirobek, diinjak-injak, dan diludahi. Seumur-umur hidup dalam satu atap yang sama, baru kali ini emosi Amaq meledak seperti letupan Gunung Krakatau. Semua kata kasar keluar. Bahkan bahasa binatang disemprotkannya juga. Alhasil, para pembeli ngacir, beberapa tetangga ikut mencibir.
“Salah karena dia adalah anak Hans Leo Roosevelt!” sahut ayah Elea dengan suara naik. “Ayahnya penipu! Anaknya pasti penipu juga!”
“Amaq nggak boleh berpikir sepicik itu!”
“Diam kamu!" Ayah Elea melotot. "Asal kamu tahu, gara-gara si penipu itu, Ibu mati!” raungnya dengan suara bergetar. “Seandainya waktu itu Amaq nggak kena tipu, Amaq bisa bawa Ibu ke rumah sakit. Jadi Ibu nggak perlu mati, Elea. Nggak perlu!”
Ayah Elea benar-benar kalap. Ia menendang meja belajar anaknya hingga benda tersebut kehilangan satu kaki. Barang-barang di atasnya tertarik gravitasi, lalu menimbulkan suara menggelegar. Sebagian barangnya bergelimpangan, sebagiannya lagi tercerai berai.
Sejak saat itu, setiap malam Elea pasti menangis di dalam kamar. Ia tak bisa tidur. Tidak mampu meredam hatinya yang nyeri. Air matanya mengalir sampai pagi menjemput. Gara-gara hal itu pula kepalanya berdenyut tak karuan. Matanya menjadi berkunang-kunang. Konsen di sekolah hilang, semua materi yang dijelaskan tidak ada yang masuk.
Elea amat tersiksa. Setiap kali ia menengok ke bangku Milleo yang kosong, saat itu juga hatinya terasa dicabik-cabik. Kalau saja sekarang ia sendirian, ingin sekali Elea menangis sejadinya. Meraung-raung. Menjerit sampai membelah langit.
Tapi ia sadar, mau berapa literpun air matanya jatuh, semuanya sudah terjadi. Barangkali kalau Elea melakukan usaha lain, sesuatu yang lebih baik akan terjadi. Ibarat nasi yang sudah jadi bubur. Kalau buburnya dikreasikan dengan ayam suir, cakue, kecap, dan tetek bengeknya, si bubur tidak akan disesali lagi. Maka, atas dasar pemikiran itulah Elea memberanikan diri. Ia nekat datang ke rumah Milleo.
“Milleo baru berangkat ke Padang tadi pagi.”
Naas. Itulah yang terjadi. Yang didapatinya sore itu hanya perempuan sebaya kakaknya. Dinilai dari cara menyambut tamu dan air mukanya sekarang, Elea yakin dia jauh lebih baik dari Sekar. Selain sopan, ia pun tidak melemparkan delikan-delikan memuakkan.
"Kamu Elea, kan?" tebak gadis itu. Ia lantas mengangsurkan secarik kertas lalu berkata, "Sebelum pergi, Milleo sempat titip ini."
Kertas itu tampak lusuh. Di ukurannya yang hanya lima kali lima senti, tertulis deretan angka. Nomor teleponkah? pikirnya.
Meskipun sejatinya harapan itu masih ada, hati Elea sudah keburu hancur. Ia yang terluka bukan main hanya menyambuti kertas itu dengan perasaan kecewa. Lantas, dimasukannya kertas itu ke saku celana, ditinggalkannya rumah di hadapannya sambil menggigit bibir.
Mendung meraja. Baik terhadap perasaan Elea maupun latar. Langit seperti ikut berduka. Awan-awan berarak lalu berkumpul dan menaungi Elea yang melangkah gontai dengan perasaan masygul. Satu dua saling bergesekan sehingga menimbulkan petir, sementara sisanya bersiap mengeluarkan tangis yang akan membasahi bumi.
Ketika satu-satu titik air mulai turun, Elea berhenti melangkah. Ia membiarkan sekujur tubuhnya didarati hujan. Tidak peduli hujan itu diiringi petir yang saling bersahut-sahutan, tidak peduli badannya mulai menggigil, tidak peduli tiket sakit siap dikantonginya.
Elea merasa sesuatu yang nyeri tengah menggerogoti hatinya. Terutama saat matanya terpatri pada halte di depan sana. Suatu hari, ia dan Milleo pernah berteduh di situ. Mereka menunggu hujan reda dengan satu harapan. Semoga es lapisnya tetap bisa terjual.
Oh, es lapis...
Elea semakin menggigit bibirnya lalu menunduk dalam. Seumur hidup, baru kali ini ia merasa sesedih ini. Ia telah kehilangan sahabatnya. Milleo.
Tidak akan ada lagi bocah bandel yang akan menemaninya jualan es lapis, tidak ada lagi si Bule Karbit yang akan melindunginya, tidak ada lagi sahabat yang rela nyolong mangga demi kebahagiaannya, tidak ada lagi Milleo yang menghubunginya via telepon umum atau surat-surat di kolong meja.
Lama-kelamaan Elea badan mulai berontak. Bukan saja ujung jarinya yang mengerut, kepalanya pun mulai berdenyut-denyut. Tapi sebelum ia beranjak, suatu kesadaran menyentakkannya.
Astaga, nomor telepon Milleo...
Tangis Elea akhirnya pecah. Tinta berisi nomor Milleo telah luntur. Kertasnya bahkan robek karena Elea kelamaan di bawah hujan. Dan seakan tak menemukan harapan lagi, ia pun membiarkan air matanya berbaur dengan jutaan air hujan.
-bersambung
10 Feb 2018
E&Q2
KAMU SEDANG MEMBACA
Unread Book
General FictionUnread Book bukanlah buku biasa. Kemunculannya yang tiba-tiba laksana dinamit tanpa timer. Petir di siang bolong. Tahu bulat lima ratusan. Begitu mendadak! Padahal buku itu hanya berisi tulisan seorang bocah. Mengenai hari-harinya yang datar, jemu...