Bab 22

4.6K 651 177
                                    

Biasanya, kalau lagi kangen begini, aku pengin banget dipeluk 😌

Terus dinyanyiin lagu D'Masiv- Rindu 1/2 Mati 😳

Setelah itu dibisikki, "Nggak usah rindu. Riweuh. Mending ngehedon aja. Nih, abisin 2 miliar dalam sehari."

Ngiaaaa 😂

Segara mengirim pesan tersebut ke nomor Alean. Dengan senyum mengembang, ia menunggu jawaban dengan harap-harap cemas. Ia berharap istrinya itu cepat membalas. Juga menanggapi leluconnya.

Sebenarnya ini agak aneh. Entah mengapa, akhir-akhir ini kadar kerinduan Segara terhadap kesayangannya itu berkembang pesat. Rasanya ia ingin selalu bersama, tidak mau berpisah. Padahal setiap hari mereka berjumpa. Bahkan, setiap jam ——jika Segara sedang bekerja—— mereka pun kerap tukar suara. Apa karena waktu kelahiran si jabang bayi tinggal menunggu hari, ya? Atau, memang karena gerak-gerik Alean yang memicu rindu?

Sekarang Alean tidak terlalu sering mengatur ini-itu. Kadar kekuasaannya di rumah pun mulai berkurang. Apapun yang hendak ia lakukan, ia pasti meminta pendapat Segara terlebih dahulu. Selain itu, terkadang sikapnya membuat Segara gemas. Ia cemburu kalau Segara mengangkut penumpang cewek berjenis cabe, ia tak malu mengakui kerinduannya, dan ia tak lagi memperlakukan Segara layaknya adik.

Segara tahu, perubahan sikap istrinya ini pasti dikarenakan pembicaraan krusial kala itu. Mengenai kebenaran kisah Elea, ibu kandungnya. Awalnya Alean jengah saat mendengar cuap-cuap Segara, Bude, dan mertuanya tentang ibunya. Sampai detik tersebut, respeknya pada sang ibu memang tidak ada. Ia masih menganggap ibunya sebagai wanita murahan.

Tapi siapa sangka, setelah dikatakan panjang lebar ——juga dilengkapi linangan air mata dari Bude—— Alean pun tak kuasa membendung tangisnya. Besoknya juga Alean memaksa Segara agar mereka ke Jakarta, untuk mendatangi pemakamannya.

"Ibu, maafin Lean." Saat itu tangis Alean benar-benar pecah. Air matanya menetes ke atas nisan, kemudian meluncur mengenai tanah.

Segara tak pernah melihat istrinya sesedih itu. Matanya terasa panas saat Alean tersedu. Sekujur tubuhnya ikut bergetar waktu Alean tergugu. Hatinya seperti diremas-remas manakala Alean menumpahkan segala penyesalan.

Sejak hari itu, Alean rutin menyambangi makam ibunya. Dalam sebulan ia bisa datang hingga dua kali. Karena jarak rumah dengan kota kelahirannya memakan waktu berjam-jam, Alean tidak akan langsung pulang, melainkan menginap dulu di rumah Bude. Well, hubungannya dengan Bude sudah tidak perlu dijelaskan, bukan? Sekarang mereka seperti ibu dan anak.

Hal lain yang terjadi setelah perbincangam hari itu adalah sikap Eva terhadap Alean. Meski belum sebaik Bude, Eva tidak lagi menunjukan tatapan dinginnya. Ia pun mulai menerima perbedaan mereka (terutama soal usia), bahkan tak segan memperlakulan Delvin-Melvin layaknya cucu. Sebut saja memberi sejumlah uang jajan dan membelikan mainan.

Ting!

Tiba-tiba ponsel Segara berbunyi. Ia membuka notifikasi, kemudian membacanya.

Gara, lagi sama Lean nggak?
Bude chat dia daritadi, tapi nggak dibalas.

Segara menginjakkan jempolnya di layar ponsel dan menjawab, nggak, Bude. Mungkin Lean lagi tidur.

Tak lama muncul balasan, dia sendiri di rumah? Aduh, kalau bisa jangan terlalu sering ditinggal ya, Gara. Udah bulannya. Kamu tahu sendiri Lean gimana. Nggak mau cuma diem di rumah. Kalau kemarin kamu nggak bujuk dia, udah pasti dia ambil cutinya minggu depan.

Unread BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang