Bab 21

2.9K 545 61
                                    

Wanita beperut buncit itu sedang memeluk Segara ketika ponselnya menyala. Sekali lirik, ia tahu ada panggilan masuk. Tapi karena huru-hara baru saja terjadi, ia sama sekali tak berniat mengangkatnya. Lantas diabaikanlah notifikasi tersebut.

"Yang," kata Segara sambil mengusap-usap kepala wanita berperut buncit. "Alean Sayang, udah hampir satu jam kamu nangis."

Alean menggeleng. Sambil terus mendekap suaminya, ia kembali menelusupkan kepala. Menerima keadaan tersebut, Segara pun hanya bisa pasrah. Ia kembali mengusap-usap parietal Alean dan menggumamkan syukur di dalam hati.

Ternyata nggak seburuk yang dikira, batinnya lega. Cuma kekurangan air ketuban. Bukan cac ...

"Kata dokter, kalau dibiarin bahaya, Yang," Alean tiba-tiba menukas batinan Segara.

"Siapa juga yang mau ngebiarin?"

Selepas Segara bicara, Alean melepas rangkulannya. Tak lama, wanita itu memandang wajahnya lekat-lekat. Segara pun melakukan hal serupa.

"Tapi makasih banyak ya, udah ngasih tahu aku soal ini," ujar Segara.

"Kok, makasih?"

Lelaki bermata abu-abu itu tersenyum. Ia mengeringkan sisa air mata istrinya dengan jempol dan berkata, "Dengan kamu yang ngabarin kayak tadi, aku ngerasa dianggep ada."

"Selama ini aku anggap kamu ada, kok."

Alean tidak tahu, selain bekerja, harga diri laki-laki adalah diandalkan oleh wanita. Naluri kejantanan para kaum adam bisa terbangun jika mereka menyanggupi keperluan perempuan. Mereka bukan saja merasa dibutuhkan, mereka pun seperti didambakan, diinginkan.

"Kok, diem, Yang?"

Segara cuma tersenyum. Saat ini ia asyik memandangi wajah Alean. Duh, baru ia sadari betapa kangennya ia pada sang istri! Sudah berapa lama ia tidak mencecap kerupawanan ini?

Damis ini milikku, pikirnya seraya menekan-nekan pipi montok Alean.

Hidung ini juga punyaku. Ia menjawil indera penciuman.

Kemudian mata sebening madu ini. Bibir merah muda. Pun dengan dagu lancip. Semunya aku punya!

Alean merasa heran kenapa Segara menekan-nekan pipinya, mencubit hidungnya, mengusap matanya, dan menggelitik dagunya. Tapi ia tak ambil pusing. Lantas dibiarkannya saja Segara berlaku demikian.

Perlahan wajah Segara mendekat. Pemuda itu lantas mengecup bibir Alean. Satu detik, tapi berulang. Tiga kali, empat, hingga lima. Pada sentuhan yang ketujuh, aksi itu berlangsung lebih lama. Sekitar sepuluh sekon. Ada kerinduan bercampur gairah yang Segara sampaikan dalam ciumannya.

Tetapi naas, aksi mereka terpaksa terinterupsi. Ada pengacau yang tiba-tiba masuk. Dia seorang perempuan seusia Alean, membawa sesuatu di atas nampan, dan baru menyadari kelancangannya.

"Maaf, gue lupa Gara udah balik," katanya. Ia bisa melihat Segara mendengus kesal. Tetapi bukannya langsung pergi, ia malah mendekat ke arah mereka.

"Jadi Bianca, sampai kapan kamu di sini?" tanya Segara langsung.

"Sampai My Is nyelesaiin masalahnya, dong."

Alis Segara naik. Begitu ia menoleh ke arah Alean, wanita itu mengangguk maklum.

"Diminum dulu, Lean," sambung Bianca.

Segara yang bereaksi. Ia meraih jus belimbing yang diangsurkan Bianca lalu mengendus-endus. Matanya menatap penuh curiga.

"Nggak diracun, kok," kata Bianca cemberut.

"Yang, sini biar aku minum," tegur Alean. Ia merasa tidak enak dengan sikap Segara. Meskipun ia pernah punya konflik dengan Bianca di masa lalu, ia bisa memastikan kalau perempuan ini sedang kerasukan malaikat.

Unread BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang