Bab 18

2.5K 520 113
                                    

Wanita berperut buncit itu sedang mengawasi laporan pembangunan jaringan fiber optic ketika ponselnya berdering. Setelah memastikan siapa yang menelpon, susut sudah harapannya, membumbung pula kekesalannya.

"Hallo, Mbak Alean."

Alean menjawab sapaan tersebut kemudian tenggelam dalam percakapan. Orang yang menelponnya adalah rekan kerja di kantor. Ia hendak memastikan agar laporan RAB dikumpulkan besok di meja, serta mengkonfirmasi perihal meeting untuk lusa.

Tak sampai lima menit, perbincangan itupun berakhir. Alean menaruh ponselnya kemudian kembali memandang monitor. Tapi belum sempat ia membaca satu kata, seseorang sudah menginterupsi gerakannya.

"Waktu sekolah kedokteran, lo nggak diajarin sopan santun, ya?" kata Alean. "Udah numpang, main nyelonong aja masuk ke kamar orang."

Bianca tidak langsung menjawab. Ia menggeliat di kasur lalu mengendus bantal yang menyangga pipinya dalam-dalam.

"Hmmm, wangi laki lo emang nganu banget. Parfumnya masih belum berubah."

Alean menoleh sengit. Tanpa ba-bi-bu ia langsung menarik bantal tersebut dan berkata, "Lo gue izinin nginep tapi bukan di kamar ini. Jadi silakan keluar!"

"Dih, galak banget, sih," cetus Bianca seraya bangun dari posisi. Tanpa menghiraukan Alean yang menatap tak suka, ia malah memandang seluruh ruangan dengan penuh penilaian. "Kamar kalian kok kecil banget, sih?"

"Bianca, gue lagi nggak mau ribut, ya."

"Siapa juga yang mau ribut?" Bianca melipat kedua tangan di dadanya. "Nih, asal lo tahu. Delvin yang nyuruh gue ke sini. Dia minta gue nasihatin lo supaya nggak gila kerja."

"Nggak usah bawa-bawa Delvin!"

"Lo sering cek kandungan nggak, sih?" Tiba-tiba Bianca bertanya demikian. Ia juga menatap Alean dari ujung ke ujung dengan penuh selidik. "Dari luar aja gue udah bisa nilai, lho."

Disuguhi kalimat tersebut, mau tak mau Alean merasa resah. Meskipun menyebalkan, Alean mengakui kalau Bianca adalah dokter yang andal. Aduh, semoga dia nggak ngerasa ada yang salah di tubuhku, doanya dalam hati.

"Semuanya baik-baik aja, kan?" tanya Alean pada akhirnya.

"Mmmmm," gumam Bianca sambil terus memandang penuh analisa. "I'm not sure. Gue nggak nemu sesuatu yang baik-baik aja. Apalagi di perut lo."

Alean langsung bereaksi. Ia lantas menghadap Bianca dan berkata, "Jangan bercanda lo!"

"Eh, santai dong, Bu," Bianca berkata. "Kalau lo mau tahu lebih lengkapnya, lo beresin dulu laptop dan segala berkas yang ada. Masukin ke tas sekarang dan jangan pernah lo buka lagi kecuali di kantor."

Tanpa merasa curiga, Alean menuruti apa kata perempuan itu. Sebab bagaimanapun, ia tak mau ada hal buruk terjadi pada bayinya.

"Jadi gimana? Gue baik-baik aja, kan? Nggak ada masalah sama bayi gue, kan?"

Bianca menggeleng-gelengkan kepala. "Gue bingung sama lo. Lo ini sebenarnya sayang nggak sih sama bayi lo? Giliran gue ngomong kayak tadi, lo langsung panik," omelnya. "Pas lo bawa kerjaan ke rumah, pada ke mana rasa was-was lo itu?"

"Lo belum jawab pertanyaan gue, Bianca! Kandungan gue baik-baik aja, kan?"

"Oke, gue jawab. Kandungan lo bermasalah." Sebelum Alean bersuara, Bianca lantas menambahkan, "Kalau lo masih ngerjain tugas kantor di rumah."

"Bukan git ... "

"Nggak ada alasan," potong Bianca. "Di rumah itu waktunya istirahat, urus diri, urus suam ... hei, gue baru nyadar sesuatu. Segara belum nongol selama gue di sini. Ke mana dia?"

Unread BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang