Hari ini, aku melakukan kesalahan besar pada Elea. Kejadiannya adalah sore hari di kamarku. Entah bagaimana bisa aku melakukan itu semua, tapi aku yakin Elea benar-benar membenciku.
Rasanya aku benar-benar bakal masuk neraka. Sungguh dosa yang tak mudah diampuni!!! Aku benci diriku sendiri.
.
.
.
.
.Ternyata semua tak semudah yang mereka kira. Penghalang antara Milleo dan Elea masih sama, yakni Amaq dan Daddy.
Setiap kali Milleo membesuk ayahnya, pria yang mengalirkan darah bule ke tubuhnya itu selalu menggumamkan, "Akan kuhancurkan si keparat itu! Akan kubalas sampai dia merasakan penderitaanku selama di sini!"
"Sudahlah, Dad," Milleo mencoba bernego. "Daddy ditahan karena kesalahan Daddy. Kenapa harus mendendam seperti ini?"
Hans, ayah Milleo, menggeleng. "Kau tidak tahu apa-apa," katanya geram. "Pokoknya aku berjanji atas nama Tuhan, setelah aku bebas, akan kubalas dia! Lihat saja. Tak lama lagi aku akan keluar dari sini."
Beda Daddy, beda pula Amaq. Pria berkumis melintang itu sudah kebakar janggut ketika ia tahu ternyata si Bule Karbit sudah kembali ke Mataram. Kemarin, ketika ia selesai berlayar, ia mendapati putrinya di Pantai Senggigi bersama Milleo. Langsung memerah muka pria itu ketika menyaksikan Milleo menggenggam tangan putrinya. Hingga tak sempat pamitan pada rekannya, ia lantas menghadang mereka.
"Begini kerjaan kamu selama ini?!" Ayah Elea membentak sesampainya di rumah. Sepanjang perjalanan ia memang diam saja. Mungkin karena ia masih punya nurani sebab colt yang ditebengnya dihinggapi banyak orang. Hanya mukanya saja yang memerah kepiting. Urat-urat di pelipis dan tangannya pun menyembul, seakan menjelaskan emosinya.
"Harus berapa kali Amaq ingatkan ulah si Penipu itu?"
Elea diam. Ia menunduk dalam dengan air mata berjatuhan di paha. Bukan saja karena kata-kata Amaq, ia pun memikirkan Milleo. Tidak apa-apakah dia ditinggalkan sendiri? Selamatkah ia pulang menggunakan sepeda padahal hari sudah malam?
"Apa Amaq harus mati juga seperti Ibu supaya kamu nggak bergaul lagi sama dia?"
Sekali lagi Elea menutup mulut. Memang percuma ia bicara, Amaq takkan mendengar. Dulu ia pernah bilang bahwa Amaq tak boleh berpikiran picik mengenai Milleo, tapi hasilnya amarah ayahnya justru malah membumbung tinggi. Jadi daripada segalanya tambah runyam, Elea memilih diam.
"Elea, dengar," sambung ayah Elea dengan suara geram. Ia memegang kedua bahu anaknya, melotot, dan berkata, "Ini terakhir kali Amaq lihat kamu berteman dengan anak si Penipu itu. Kalau sampai Amaq nemuin lagi kamu sama dia, Amaq nggak segan-segan hajar dia! Paham kamu?"
*
*
*Seperti mengulangi suatu masa, kini Milleo dan Elea tak bisa berhubungan dengan leluasa. Amaq juga tak main-main dengan ancamannya. Pernah satu kali ia menemukan Milleo dan Elea bercengkerama ——itupun di depan gerbang sekolah saat jam pulang. Tanpa mempedulikan para mata, telinga, dan bibir yang menyaksikan, lelaki berkumis melintang itu langsung menarik Elea setelah menampar Milleo.
Selain itu, ayah Elea juga seperti punya indera tambahan. Ia bisa tahu jika di sekolah Elea dan Milleo masih berhubungan. Dan ia tak segan-segan mengamuk lagi kalau Elea berusaha mengelak meski kenyataannya ia memang berkomunikasi dengan Milleo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unread Book
General FictionUnread Book bukanlah buku biasa. Kemunculannya yang tiba-tiba laksana dinamit tanpa timer. Petir di siang bolong. Tahu bulat lima ratusan. Begitu mendadak! Padahal buku itu hanya berisi tulisan seorang bocah. Mengenai hari-harinya yang datar, jemu...