Hari ini. Sama seperti kemarin-kemarin. Masih ada berandal-berandal sok jago, masih ada Elea.
Elea nggak secantik Anggun, nggak sekaya cewek yang duduk di sebelah Bimo, nggak selembut sekretaris kelas. Tapi Elea baik, pinter, dan sedikit sok. Tiap hari kami pulang-pergi bareng. Main bareng. Ngeroyok bareng (hehe)
.
.
.
.
.Semenjak tanya-jawab tentang binatang kesukaan, Elea dan Milleo resmi berteman. Mereka sering ngobrol di kelas, kerap pulang-pergi bersama, dan selalu sekelompok jika guru memberikan tugas kolektif.
Gara-gara hal tersebut teman sekelas mulai mengolok-olok. Terutama pada Milleo, yang biasanya mengasingkan diri dari ingar bingar kehidupan kelas. Tapi sebaliknya dari menjaga jarak, pihak yang bersangkutan justru tidak ambil pusing.
Elea adalah satu-satunya teman yang Milleo punya. Di kelas, cuma Elea yang berani mengajaknya ngobrol, mengajarinya dengan sabar, dan mengundangnya menjadi anggota kelompok. Anak lain boro-boro berlaku demikian. Baru melihat Milleo masuk ke kelas saja, mereka malah berbisik-bisik dengan tatapan sentimen.
Bagi Elea sendiri, Milleo termasuk teman yang baik. Ia tidak keberatan kalau dimintai pertolongan, serta tak pernah memanfaatkan Elea dalam hal pelajaran. Beda dengan teman sekelasnya. Kebanyakan mereka mendekati Elea dengan tujuan tertentu. Misalkan, kerjasama saat musim ulangan atau ketika guru melakukan pembantaian tugas.
Milleo sama seperti kebanyakan anak lelaki lainnya. Dia tidak suka belajar, selalu malas bikin PR, dan langsung ngantuk bila membuka buku. Setiap kali Elea mengajaknya belajar, jarang sekali digubrisnya. Alasannya macam-macam. Baru saja diajak tanding bola, atau sakit kepala, atau capek.
Namun meski demikian, Milleo tetap merasa dirinya berubah. Sekarang ia tidak malas kalau pergi sekolah. Ia pun kerap pergi lebih pagi supaya bisa berangkat bersama Elea. Bahkan, di dalam jurnal hariannya, ia mulai berani menceritakan gadis itu.
Adapun kebiasaan buruk Milleo yang membuat Elea jengkel hanya satu. Yaitu, Milleo masih suka berkelahi. Ototnya selalu bekerja lebih cepat dibanding otak. Hampir tiap hari dia menghajar orang. Entah itu Adam, sahabatnya Galuh. Atau Gugun, anak kelas sebelah. Bahkan Ucok, kakak kelas yang dikenal berandal.
“Udah Ai bilang berkali-kali, kan? Kalau Ai berantem, Elea nggak usah ikut campur,” sahut Milleo siang itu, setelah ia berhasil menaklukan lawan baru.
"Elea nggak suka Ai berantem. Ngerti nggak, sih?"
"Pokoknya besok-besok Elea harus langsung pulang kalau Ai dicegat orang!"
Elea terlalu polos untuk memahami bahwa sentakan Milleo merupakan manifestasi kekhawatiran. Si Bule itu sebenarnya amat takut jika lawan-lawannya malah balik mengincar Elea. Jadi meskipun kelihatannya berang, Milleo tidak menghilangkan rasa pedulinya. Selepas berkelahi, ia pasti mengantarkan Elea sampai rumah.
Tapi sebaliknya juga. Milleo tidak tahu kalau niat Elea menungguinya adalah untuk jaga-jaga. Gadis itu selalu siap berteriak minta tolong jika keadaan Milleo kelihatan terdesak.
Dan karena itulah Elea mendapat konsekuensi di rumahnya. Ia yang sering pulang terlambat lantas disemprot kakaknya dengan kata-kata,
"Keluyuran mulu! Pasti diajak si Bule karbit!"
Atau,
"Kamu gimana, sih? Ini warung nggak ada yang jagain dari tadi!"
Atau,
"Daripada main nggak jelas, mending ambil belanjaan sana!"
Dan masih banyak lagi.
Elea sebenarnya kesal. Warung ini milik kakaknya, tapi kenapa Elea harus ikut-ikutan menjaga? Bukankah warung ini merupakan kompensasi Kak Sekar agar tidak kelihatan nganggur selulus SMA?

KAMU SEDANG MEMBACA
Unread Book
Fiksi UmumUnread Book bukanlah buku biasa. Kemunculannya yang tiba-tiba laksana dinamit tanpa timer. Petir di siang bolong. Tahu bulat lima ratusan. Begitu mendadak! Padahal buku itu hanya berisi tulisan seorang bocah. Mengenai hari-harinya yang datar, jemu...