+ P P P

4.7K 558 86
                                    

Ekstra part dulu, Borr wkwkwkwk*

*pas nulis wkwkwkwk nggak lagi ketawa

Selamat membaca ya, Kawin-kawin.

_________

"Biar Cessa ada temen main, Yang."

"Nggak! Tiga udah cukup. Kita nggak perlu anak lagi."

"Satu lagi, deh."

"Sekali nggak, tetap nggak."

Segara masih tak mau menyerah. Ia memutar laju pikir guna membuat istrinya luluh. Jika usulannya ditolak lagi, biarlah itu menjadi masalah belakangan. Pokoknya Segara mau anak (lagi)!

"Kasihan Cessa. Kalau main boneka selalu sendirian." Segara merapatkan posisi tidurnya ke badan Alean. Sambil mengusap-usap perut istrinya, ia menyambung, "Lagian aku kangen lihat kamu hamil. Kangen banget."

"Kalau kangen, lihat aja foto-foto yang kamu ambil diam-diam."

"Hah?"

"Kamu pikir aku nggak tahu? Pas aku hamil, kamu selalu moto aku. Dan fotonya kamu jadiin bahan main sabun."

"Salah kamu sendiri nggak mau diajak main selama hamil." Segara nyengir sambil menggaruk-garuk rambutnya. Kemudian ia kembali teringat dengan keinginannya. "Mau ya, Yang? Foto dan kamu itu beda. Foto mah dua dimensi, kalau kamu tiga. Foto cuma bisa jadi bahan khayalan, sedangkan kamu enak kalau diraba-raba."

Alean menggeleng, Segara mendecakkan lidah.

Bukan Alean mau jadi istri durhaka karena menolak perintah suami. Tapi ia tak mau ambil risiko. Usianya sudah menginjak tiga lima lebih, keinginan menambah momongan pun tak terlalu besar. Menurutnya, tiga sudah lebih dari cukup. Lagipula mengurus dua remaja dan satu anak-anak tidak mudah. Untuk apa menambah lagi?

Memang kalau diingat-ingat, lebih banyak kebahagiaan ketimbang kesedihan dalam masa kehamilannya. Ia hanya merasakan repotnya morning sickness, ribetnya membawa badan dengan berat melonjak 20 kilo, dan sakitnya melahirkan. Tapi tiga hal itu ——apalagi yang terakhir—— cukup membikin parno.

Alean tak mungkin lupa betapa tersiksanya ia ketika Cessa mau lahir. Ia merasakan mulas hampir tiga puluh dua jam, merasakan sakit yang bertambah-tambah tiap menitnya, dan nyaris putus asa sebab Cessa amat susah keluar dari jalur lahir.

"Tapi pas Cessa brojol, kamunya seneng banget, kan?" celetuk Segara, seakan tahu apa yang dipikirkan sang bini. "Kamu bahkan mewek-mewek sambil bilang makasih banyak sama aku, karena udah jadiin kamu wanita seutuhnya. Dan aku nggak akan lupa, kamu juga janji bakal lebih ngabdi sama aku."

Alean menaruh telapak tangan di kedua matanya. "Nggak denger. Nggak denger. Nggak denger."

"Ayolah, Alean Sayang." Kali ini nada Segara terdengar lebih mendesak. "Setelah terbukti kita bukan adik kakak, harusnya kita gencar bikin anak. Sunnah, lho. Lagian sekarang aku udah jauh lebih mapan, jadi kamu nggak usah khawatirin biaya. Terus, umur Cessa juga udah lebih dari cukup untuk punya adik. Apa lagi sih, yang kamu pertimbangin?"

Belum sempat Alean menjawab, teriakan dari liar kamar menginterupsi suasana. Suara yang melengking, penuh kejengkelan, dan kata-katanya cadel, itu pasti suara Cessa!

"Mamaaaa, Papaaaaa, Epin nakaaaaaal! Huhuhu."

Bersamaan dengan rengekan itu, gadis kecil itu memunculkan diri. Wajahnya memerah. Air matanya melumuri muka. Mulutnya ditekuk-tekuk.

"Aduh-aduh, kok, Nona Cantik nangis?" Alean turun dari kasur. Ia menggapai anak bungsunya lalu memeluk dengan keibuan. "Kamu diapain lagi sama Bang Melvin?"

Unread BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang