Bab 3

5.4K 830 135
                                    

Hari ini. Hari pertama masuk sekolah baru. Seperti biasa :

1. Tidak ada yang bisa menyebut namaku dengan benar

2. Selalu ada jagoan lemah

3. Selalu ada ANAK PEREMPUAN yang SOK

Tambahan : analisa hewan kesukaan (Singa, Hiu putih, Orangutan)

.

.
.
.
.

"Silakan kenalin diri kamu," Bu Indah menginstruksi anak laki-laki itu.

"Nama saya Aimil Leo. Dari SMP Kepahlawanan."

"A apa?" tanya Bu Indah.

"Aimil."

"Oh, ya. Amail."

"Aimil, Bu. Bukan Amail."

"Am...?"

"A-i-mil," kecapnya mencoba sabar. "Kalau susah, panggil Milleo aja, Bu."

"Hmm, Milleo." Bu Indah mengangguk-angguk. "Orangtua kamu berasal dari mana?"

"Daddy dari Belanda. Amak asli Indonesia."

"Amaq?"

Remaja itu menyadari kemiripan pelafalan Amak dan Amaq. Amak yang ia maksud adalah ibu (bahasa Padang). Sedangkan Amaq yang diucapkan Bu Indah, berarti ayah (bahasa Sasak).

"Maksudnya, ibu saya orang Indonesia. Dan ayah saya dari Belanda."

"Bahasa Indonesia kamu fasih."

"Selama ini, saya dididik dengan bahasa Ibu Pertiwi."

"Kamu sering pulang ke Belanda?"

"Nggak pernah."

Bu Indah mangut-mangut. "Ada lagi yang mau kamu jelasin?"

"Nggak."

Bu Indah menatap seisi kelas untuk mencari bangku kosong. "Kalau gitu, Amail bisa duduk di baris kedua jajaran tiga."

Milleo mendengus gusar ketika gurunya salah (lagi) menyebutkan namanya. Ia sadar kata Aimil kedengaran aneh, asing, dan ngejelimet jika disebut. Tapi masak iya, tidak ada satupun yang bisa menyebutkan dengan benar? Kebanyakan mereka melafalkan Amail, Amlia, Alima, dan Amilia.

Yang benar saja, dong! Masak iya nama cowok Amilia? Memangnya susah bilang Aimil?

A-I-MIL

A-I-MIL

A-I-MIL

Gampang, kan?

"Kok, masuk sekolah ini, Mil?" Seseorang bertanya ketika Milleo sampai di bangkunya.

"Kalian udah saling kenal?" Anak perempuan di depan meja Milleo bertanya.

"Udah, dong."

Milleo malas menanggapi obrolan mereka, jadi ia pun berlagak sibuk dengan menatap sekeliling kelas. Di depan, Bu Indah sedang menjelaskan sistem pencernaan manusia. Anak-anak yang duduk di hadapannya kelihatan fokus. Ada yang mengangguk-angguk. Tapi tak sedikit yang mencatat. Sementara itu, beberapa murid yang duduk di barisan lebih belakang tampak tak peduli. Ada yang memainkan tempat pensil, menggergaji meja dengan gerigi penggaris plastik, dan bergunjing dengan teman sebangku.

Unread BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang