Hari ini. Terakhir kalinya aku menulis di Unread Book. Dapat dipastikan semuanya telah menghitam. Terutama hidupku. Mungkin sebaiknya aku mati. Menyusul Amak dan si keparat.
Sudah sepuluh kali Eva membaca kalimat tersebut, namun titik terang tak juga didapatnya. Tulisan terakhir di Unread Book itu memang terkesan dark. Eva hanya mampu mengaitkannya sedikit-sedikit.
Karena ia belum mau menyerah, ia terpaksa mengkaji ulang masa itu. Lebih tepatnya, beberapa waktu setelah ia kembali ke Pekanbaru.
Setelah lulus SMA, Eva melanjutkan studi ke Kota Jam Gadang. Selain untuk mewujudkan mimpinya, ia pun ingin selalu bertemu Milleo.
Selama kuliah di Padang, Eva rutin mengunjungi Milleo. Di sela-sela waktu kosong, ia sering membantu pemuda itu melakukan berbagai tugas. Mulai dari menyiapkan makan, membersihkan rumah, hingga merawat Amak yang tak berdaya. Kadang kalau segala pekerjaan telah selesai sementara ia belum mau pulang, ia pun membantu Milleo mengurus usaha rumah makan yang diwariskan Amak.
"Makasih banyak ya, Va," hanya itu yang bisa Milleo sampaikan. "Saya nggak tahu gimana jadinya kalau nggak ada kamu."
"Sama-sama, Aim. Saya senang bisa bantu kamu."
"Amak juga kayaknya senang kalau ada kamu." Milleo mengembang senyum. "Dia kelihatan lebih cerah, lebih semangat. Saya benar-benar nggak tahu harus balas perbuatan kamu dengan apa."
Caranya mudah. Lupakan saja Elea! batin Eva dengan terus melemparkan senyum.
Ia tahu, sampai sekian waktu mereka jauh dari Nusa Tenggara, Milleo masih memikirkan perempuan itu. Hampir setiap hari ia menelpon Tigor untuk menanyakan kabarnya. Selain itu, pernah secara tak sengaja, Eva menemukan Milleo sedang menunjukkan foto Elea pada ibunya. Dengan wajah berseri, ia menyanjung-nyanjung perempuan itu.
"Elea nggak suka difoto, Amak. Makanya saya terpaksa maling foto ini di ruang guru," kata Milleo sambil nyengir. Meski ibunya hanya merespons dengan senyum, Milleo kembali melanjutkan, "Karena ini cuma ada satu, saya simpan di dalam jurnal ya, Amak. Takut hilang."
Jangan tanya seperti apa perasaan Eva saat itu. Ia yang biasanya bisa bertahan, tiba-tiba saja mengucurkan air mata dengan deras. Dan karena ia tak mau Milleo melihat hal itu, segera ia berbalik lalu pulang ke rumah kostnya.
Malam harinya, Milleo menelpon. Ia bertanya kenapa Eva tak datang. Awalnya Eva merasa senang sebab ternyata Milleo masih menganggapnya. Tetapi di obrolan selanjutnya, hati Eva malah semakin teriris.
"Tigor bilang, Elea sudah pindah rumah," katanya dengan suara peluh. "Tapi nggak satupun yang tahu pindahnya ke mana."
Elea! Elea! Elea! raung Eva dalam hati. Apa cuma dia yang ada di kepala kamu?
Memang makan hati punya perasaan seperti ini. Tetapi Eva sendiri tak paham mengapa dirinya masih saja bertahan. Milleo selalu dijadikannya prioritas. Selama ia bisa melihat semburat bahagia dari wajah Milleo, ia rela menukarnya dengan sakit hati. Lagi pula ia percaya, waktu pasti akan membawa Milleo padanya. Cepat atau lambat.
Tetapi hati Milleo memang bebal. Hampir dua tahun ia terpisah dengan Elea, cuma perempuan itu yang mengisi hatinya.
Selama terpisah, Milleo hanya mengandalkan Tigor cs sebagai sumber informasi. Tetapi seperti yang ia kira, kabar Elea semakin minim. Mereka bahkan sudah bosan menjawab pertanyaan Milleo mengenai perempuan itu. Didesak rasa bersalah, juga rindu yang membuncah, akhirnya Milleo nekat. Ia harus ke Mataram.
"Sekalian ketemu Daddy. Sejak bebas dua tahun lalu, saya belum pernah menemuinya," Milleo menjawab ketika Eva bertanya. "Paling lama satu minggu, Va. Nggak apa-apa, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Unread Book
General FictionUnread Book bukanlah buku biasa. Kemunculannya yang tiba-tiba laksana dinamit tanpa timer. Petir di siang bolong. Tahu bulat lima ratusan. Begitu mendadak! Padahal buku itu hanya berisi tulisan seorang bocah. Mengenai hari-harinya yang datar, jemu...