Bab 4

4.1K 760 140
                                    

Wanita berperut buncit itu sedang mengawasi laporan pembangunan jaringan fiber optic ketika ponselnya berdering. Bukan karena panggilan telepon atau pesan, melainkan notifikasi bahwa jam pulang sudah datang. Lantas tanpa membuang waktu lagi ia pun merapikan meja kemudian beringsut keluar ruangan.

Seperti biasa, di jam pulang begini, kegiatan di unit Acces Supervision and Construction mengalami percabangan. Ada yang masih anteng mengerjakan rekap pembangun fiber optic, ada yang siap-siap pulang. Dan wanita berperut buncit ada di opsi kedua. Karena selain pekerjaannya sudah selesai, nyawa lain di perutnya pun berhak mendapatkan istirahat.

Kantor tempatnya bekerja tidak terlalu besar. Hanya ada dua lantai. Itupun sudah termasuk ruangan manager dan asistennya. Perusahaan yang bekerja di bidang telekomunikasi ini memang terbilang baru. Produknya pun hanya menjanjikan dua fasilitas dari tripleplay yang ada. Internet dan TV. Tanpa telepon. Namun meski demikian, perkembangannya terbilang baik. Order jaringan selalu ada tiap bulan, jumlah pelanggan pun naik secara signifikan.

Ketika sampai di lantai satu, langkah wanita berperut buncit berubah pelan. Pasti karena sosok itu. Lelaki yang baru muncul setelah tiga hari minggat, yang hilang tanpa kabar, yang membuat mood-nya menginjak titik rendah. Dan semua itu terangkum dalam satu kata, suaminya.

Lelaki bermata abu-abu itu sedang berdiri di samping pintu lobi. Kepalanya menyender ke tembok, sementara tangannya asyik membulak-balikkan lembaran yang dibacanya. Entah buku apa yang dipelajarinya, yang pasti ia kelihatan begitu asyik. Sesekali matanya menyipit, sesekali juga keningnya berkerut. Andai saja penjaga keamanan di sebelahnya tidak mengingatkan, barangkali ia tidak akan sadar bahwa istri yang dinantinya sudah datang.

"Hai, Istriku yang Cantik," sapanya sambil mendekat. Kemudian tanpa permisi lagi ia meraih tas istrinya, lalu meyampirkannya di bahu. "Mau langsung pulang atau gimana?"

Wanita di hadapannya tidak menyahut. Mimiknya pun masih belum berubah. Sepahit vitamin b kompleks. Seasam vitamin c. Seandainya ia tidak berada di tempat umum, ingin sekali ia berteriak, "WOI, NGGAK TAHU MALU BANGET SIH, LO! GUE TUNGGUIN TIGA HARI TIGA MALEM, KENAPA BARU MUNCUL SEKARANG?! NGAJAK RIBUT LO?!"

"Duh, senangnya jadi Bu Alean. Tiap pulang dijemput suami," seseorang berkata demikian. Kandungan katanya tidak mengandung ironi. Senyumnya pun tulus. "Pulang sekarang, Bu?"

"Iya."

"Kalau gitu saya duluan, ya. Mari Bu Alean, mari Mas Segara."

Dua makhluk yang diajak bicara menjawab serempak.

"Duh, emang kita jodoh, ya. Jawabnya aja barengan," celetuk Segara sambil menyeringai.

Tapi sebaliknya dari tergugah, Alean justru kelihatan muak. Lantas dengan langkah seribu ia pun langsung meninggalkan suaminya. Tidak peduli lelaki itu memanggil-manggil, tidak peduli perutnya yang buncit agak terasa nyeri saat kakinya melangkah cepat-cepat.

"Kasih aku kesempatan buat minta maaf," kecap Segara ketika keduanya sampai di tempat parkir. Nada suara dan tatapannya berubah serius. "Please."

Alean terdiam sejenak. Setelah napasnya lebih teratur, ia menatap lelaki itu lekat-lekat. Kemudian seraya merebut tasnya yang masih bertengger di bahu Segara, ia berkata, "Dari sini sampai rumah, silakan jalan mundur sambil bilang : 'Istriku, maafin aku'!"

Dengan santai Alean melenggok masuk ke mobilnya. Kemudian dinyalakannya mesin, ditinggalkannya lelaki itu tanpa permisi.

Alean lupa kalau suaminya termasuk spesies nekat. Jadi kalau maafnya bisa ditebus dengan hanya berjalan mundur sambil bilang 'Istriku, maafin aku', maka hal itu pasti dilakukannya tanpa ragu.

Unread BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang