Wanita berperut buncit itu sedang mengawasi laporan pembangunan jaringan fiber optic ketika ponselnya berdering. Begitu melirik nama yang tertera di layar, ia mendengus kesal. Cih, kenapa bukan dia yang nelpon? decihnya dalam hati.
"Hallo," katanya singkat.
"Apa benar ini nomor Alean?"
Alean menaikkan sebelah alisnya. Orang yang sedang menghubunginya adalah kaum hawa. Suaranya sok berkuasa. Sok gue. "Iya. Ini siapa?"
"Oh, syukurlah," kali ini ia berbisik. "Ini Bianca."
Hmmm, sudah kuduga, batin Alean. Seumur hidup, cuma ada dua orang yang berani bicara dengan nada menyebalkan seperti ini padanya. Yang pertama Bude, sisanya Bianca.
"Kenapa nelpon?"
"Gue denger lo sama Segara pindah kota." Perempuan itu menyebutkan nama kota yang ditinggali Alean sekarang. "Beneran?"
"Bener."
Bianca diam sebentar. Lima detik kemudian ia mendecakkan lidah barulah berkata, "Bisa nggak sih, kalau ngomong biasa aja? Nggak usah sok judes."
"Lo nelpon gue cuma mau ngomong itu?"
"Nggak usah sok tahu!"
"Sorry gue lagi sibuk. Gue tutup, ya?"
Bianca memekik, "Jangan! Awas kalau berani tutup. Eh, maksud gue... nggg... gue... mmmn."
"Gue apa?"
"Gue terdampar di suatu tempat antah berantah. Tapi kita sekota."
"Jadi lo mau minta tolong?"
"Gue nggak sudi minta tolong sama lo."
"Yaudah gue tutup."
"Jangaaaan!" sahutnya. Bianca kembali diam, mendecakkan lidah, dan berkata, "Oke, hubungan kita emang nggak sedeket pintu anu-mart. Tapi sekarang gue emang lagi nggak berdaya."
Alean diam saja mendengar penjelasan Bianca yang ngalor ngidul. Katanya, koper dia digondol copet. Jadi yang tersisa cuma tas kecil berisi ponsel, parfum, lipstik, dan dompet. Sayangnya, isi dompetnya masih kosong. Cari-cari ATM juga nggak nemu. Kemudian batre ponselnya tinggal dua persen. Di sini ia sendirian dan bingung harus bagaimana.
Dia sama sekali nggak berubah, simpul Alean. Sepanjang kali lebar kali tinggi ia bicara, belum terucap kata 'please'. Padahal inti omongannya ada di situ, kan? Huh, gengsi Bianca memang gede! Apalagi terhadap Alean.
"Sekarang lo di mana?" tanya Alean pada akhirnya.
Bianca menyebutkan nama hotel. "Gue di deket situ. Sepuluh meter, lah. Yang di pinggirnya ada tempat senam hamil. Oh iya, di seberangnya ada kedai bakso gede banget."
Belum sempat Alean menjawab, panggilan sudah berakhir dengan nada tuuut... tuuut... tuuut.
*
*
*"Jadi Mami benar-benar nggak tahu pasti?" keluh Segara ketika siang itu mereka bertemu.
Titik hitam yang ditakutkan Segara semakin besar begitu ibunya menceritakan siapa sebenarnya Milleo dan Elea. Benang merah pun tak pelak mulai terurai. Menggamblangkan teka-teki, merumitkan inti masalah.
Eva bilang, Milleo dan Elea adalah sahabat SMA-nya. Dua sejoli itu awalnya saling benci, namun entah bagaimana ceritanya, merekapun bisa selengket prangko dan amplop. Meski tak pernah mengungkapkan secara langsung, Eva tahu Milleo sangat mencintai Elea. Sorot mata dan tindak-tanduknya tak bisa bohong. Pun dengan Elea. Meski dari luar nampak biasa saja, Eva tahu kalau pipinya selalu merona setiap kali bertemu Milleo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unread Book
General FictionUnread Book bukanlah buku biasa. Kemunculannya yang tiba-tiba laksana dinamit tanpa timer. Petir di siang bolong. Tahu bulat lima ratusan. Begitu mendadak! Padahal buku itu hanya berisi tulisan seorang bocah. Mengenai hari-harinya yang datar, jemu...