Bab 2

6K 826 76
                                    

Hari ini. Tak tahu tanggal berapa, tak tahu juga hari apa. Mau lihat kalender, tapi males.

Sama seperti yang lalu-lalu. Sejak sampai di Mataram, agendaku cuma berkelahi. Oh iya, surat Amak baru sampai tadi sore (padahal katanya dikirim dari 2 minggu lalu). Isinya banyak, tapi intinya : "Anak Amak harus jadi urang sukses. Jaan lupo baraja, jaan banyak main. Nuruik samo kecek Daddy. Sumangaik di sakolah baru."

.
.
.
.
.

Elea sedang belajar matematika ketika si Bule itu berdiri di depan warungnya. Sebelum ia sempat menganalisa lebih lama, tiba-tiba saja bocah lelaki itu menyelinap ke dalam. Ia jongkok di balik tumpukan beras, lalu merendahkan posisi kepala, dan sesekali mengintip keluar.

Ada dua alasan kenapa Elea mengurungkan niat untuk menegurnya. Yang pertama, kakaknya yang garang baru saja melewati pintu yang memisahkan warung dengan rumah. Yang kedua, segerombol anak tiba-tiba muncul di depan sana.

"Lari ke mana tuh bocah?" kata salah satu dari mereka. Badannya bongsor. Kaosnya paling kotor. Hidungnya kelihatan jontor.

"Tanya yang punya warung aja."

Lalu Elea melihat kelimanya menghampir. "Lihat anak laki-laki lewat sini, nggak?" tanya si Bongsor.

"Kurus, putih, bule."

Sebelum menjawab, terlebih dahulu Elea melirik ke arah tumpukan beras. Anak yang sedang bersembunyi di sana tidak menaruh telunjuk di bibir, tidak pula menatap Elea penuh harap. Ia tampak tenang saja padahal nasibnya ada di tangan Elea.

"Dia lari ke situ," kata Elea seraya menunjuk persimpangan jalan di depan warung.

Tanpa mengucapkan terima kasih, anak-anak itu langsung bergegas. Satu-dua dari mereka menggumamkan, "Kalau ketemu langsung keroyok." Sedangkan sisanya mengikuti sambil melakukan pemanasan di jari-jari tangan.

Setelah lima bocah itu dimakan belokan, Elea menengok ke arah tumpukan beras. Lagi-lagi ia tak sempat menganalisa sebab anak tadi langsung melompat keluar warung.

"Terima kasih," ucapnya seraya menepuk-nepuk celananya yang terkontaminasi ceceran beras.

"Kamu bisa Bahasa Indonesia?"

Seperti kata anak-anak tadi, bocah ini memang bule. Rambutnya hitam kecokelatan, matanya berwarna abu-abu, dan hidungnya mancung. Kulit bocah ini seputih susu, namun Elea merasa warnanya terlalu pucat. Badannya memang tinggi, tapi sayang cuma selembar. Dan pakaiannya... duh, lebih kotor daripada kain pel!

Merasa diperhatikan, anak itupun menyesuaikan sikap. Ia balik menantap Elea dengan dagu terangkat. Lantas terjadilah aksi saling pandang sekitar beberapa detik.

Bandel, Elea menyimpulkan. Tatapan matanya terlalu culas. Seakan memancarkan pemberontakan dan kekerasan hati. Lengkungan bibirnya tidak melukiskan keramahan. Sama sekali. Dan yang lebih meyakinkan lagi, ada banyak bekas luka di kaki dan tangannya.

"Beli apa?" Tiba-tiba kakak Elea yang garang muncul. Baik nada suara maupun air mukanya tidak menunjukkan keramahan. Seperti biasa.

"Beli permen, Kak," jawab Elea cepat. Bagaimanapun, ia sangat hapal adat kakaknya. Setelah lulus SMA, gadis ini jadi semakin judes. Mending kalau cuma judes. Lha, kucing saja kalau melintasinya ——jika ia sedang makan——pasti langsung digertak. Jadi daripada si Bule dimarahi lantaran ke warung cuma ikut ngumpet, lebih baik Elea bersilat lidah.

Cepat-cepat Elea meraih toples di atas etalase kemudian membukanya. Tanpa menghitung jumlahnya, ia pun menaruhnya ke genggaman si Bule.

-bersambung

18 Agustus 2017

Unread BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang