Bab 1

9.8K 994 103
                                    

Biasanya, kalau lagi galau begini, aku pengin banget dipeluk 😌

Terus dinyanyiin lagu Bahasa Kalbu-nya Titi DJ (atau yang versi Marcell Siahaan juga boleh) 😳

Setelah itu dibisikki, "Just because you had a bad day, it doesn't mean your life is bad. Nah, biar kamu lebih tenang, ini uang sepuluh juta buat ngehedon."

Ngiaaaa 😂

Ragu-ragu ia menekan ikon send pada layar sentuhnya. Logika mengiyakan, namun perasaan menolak. Ia tahu, pesan di atas terdengar lucu. Sarat candaan. Jauh dari keseriusan. Dan kalau mau lebih spesifik lagi, dijamin bisa meredam api di antara dirinya dengan si penerima pesan.

Tapi benarkah bisa demikian? Saat ini gunung es tengah membentang luas di antara dirinya dan sang pujaan hati. Kausalitasnya pun banyak. Mulai dari salah paham, pendapat yang kontradiktif, hingga ego yang maha kuat.

"Kalau kamu masih suka ngambil keputusan sendiri, terus apa gunanya kita nikah?"

Ia ingat sekali percekcokan mereka malam itu. Kalau tak salah, tiga hari yang lalu. Padahal masalahnya sepele. Ia hanya menandantangani kontrak iklan tanpa sepengetahuan sang istri.

"Aku nggak bermaksud ngambil keputusan sendiri, Yang. Tapi kalau nggak kayak gitu, dari mana aku bisa dapet uang? Kita kan nggak punya pohon duit."

"Pokoknya aku tetep nggak setuju!"

"Jangan gitu dong, Yang. Aku ngelakuin ini buat kebaikan kita. Terutama untuk little princess."

Ketika mengecapkan kata little princess, ia mengelus-elus perut istrinya yang membukit. Tapi sebaliknya dari melunak, wanita itu justru mengempas tangannya dengan kasar. "Kamu bisa kerja apapun, kecuali jadi entertainer."

"Kalau cuma dunia entertainment yang terima aku, apa boleh buat?"

"Kamu harus pilih. Aku, atau dunia entertainment?"

Wah, celaka dua belas! Kalau perempuan sudah menyodorkan dua pilihan, itu berarti detektor siaga harus menyala. Bumi bisa gonjang-ganjing kalau sampai salah pilih.

"Tiga hitungan kamu nggak jawab, aku anggap kamu pilih aku. Satu..."

Duh, benar-benar sial! rutuknya sambil mengepal tangan kuat-kuat. Kaum hawa kalau sudah menunjukkan taring memang tak bisa dilawan. Apalagi kalau dasarnya sudah keras layaknya batu. Seperti wanita ini, misalnya.

Makhluk berkromosom XX itu mengulangi pertanyaan, juga menambah hitungan. Tapi bukannya mendapat jawaban, wanita ini justru ditinggal begitu saja. Peringatannya tak diindahkan. Panggilannya yang berkomposisi suara naik  pun dikeparatkan.

Katakanlah sang suami kekanakan, atau tidak bertanggung jawab, atau persetan apapun sebutannya. Tapi ia memang butuh ruang untuk menenangkan diri. Paling tidak sampai pikirannya terkontrol. Meskipun memang, setelah waktu kepergiannya menginjak hari ketiga, ia justru enggan kembali ke rumah.

Sebagai pengantin baru, ia memang belum terbiasa dengan percekcokan. Terlebih kalau masalahnya sudah di luar kendali. Seperti saat ini. Istri yang terus ngomel, kebutuhan rumah tangga yang semakin bertambah, dan pekerjaan yang tak kunjung didapatnya.

Namun, terlepas dari segala permasalahan di atas, sebenarnya ada problem yang jauh lebih memusingkan. Meresahkan. Membuatnya tak mau pulang ke rumah.

Sebuah buku berjudul Unread Book. Itulah penyebabnya.

Lembaran berisi catatan harian ini datang tanpa diundang. Kehadirannya yang tiba-tiba laksana dinamit tanpa timer. Petir di siang bolong. Tahu bulat lima ratusan. Begitu mendadak!

-bersambung

16 Agustus 2017

Saat menulis cerita ini, saya sedikit bingung——aileum

Unread BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang