Wanita berperut buncit itu sedang mengawasi laporan pembangunan jaringan fiber optic ketika ponselnya berdering. Dengan segera ia mengalihkan fokus dari laptop, meraih layar pipih tersebut, dan mengatur napas ketika nama yang tertera pada layar adalah My Garong.
"Segara, kamu di mana? Bilangnya jam enam udah di rumah. Kok, semalam ini belum pulang juga? Kamu mau nyoba bohong? Atau, lagi-lagi kamu lupa kalau kita udah nikah?" cecarnya tanpa sempat membalas sapaan salam dari orang yang menghubunginya.
Sepi, tidak ada jawaban. Barangkali Segara bingung hendak menjawab pertanyaan yang mana dulu. Dan ketika lelaki bermata abu-abu tak juga menjawab, wanita berperut buncit alias Alean mengajukan satu pertanyaan saja.
"Segara, kamu masih di sana?"
"Ya," jawabnya. "Mmm, anu. Ngg... sebenernya aku nelpon buat bilang kalau..." ia kedengaran salah tingkah. "Kayaknya malam ini aku nggak akan pulang."
"Nggak!" tandas Alean diikuti gerakan memindahkan ponsel ke kuping kiri. "Sekarang juga kamu harus pulang."
"Kenapa, Yang?"
"Harusnya aku yang nanya. Kenapa kamu nggak bisa pulang malam ini?"
Sunyi, tidak ada suara. Yang terdengar hanya suara napas Segara. Dari keadaan tersebut, insting Alean mulai bekerja. Tidak salah lagi. Pasti ada sesuatu.
"Apa alasan kamu nggak pulang?" tanya Alean dengan suara lebih lunak.
"Ngg.. itu, anu. Mmm... temen-temen aku. Ya, The Avenir. Mereka ngajak hangout."
"Semalam ini?" tanya Alean penuh selidik. Ia tahu, ketiga kawan Segara memang masih bujang-bujang. Ia juga tahu, mereka tipe-tipe young-adult zaman now. Di mana kebebasan adalah sesuatu yang wajib dinikmati semaksimal mungkin. Tapi masak sih, mereka mengajak Segara hangout selarut ini. Apa mereka tidak sadar kalau Segara sudah punya keluarga? "Pulang aja sih, Yang. Emangnya kamu nggak capek?"
Lagi, Segara tak langsung menjawab. Hal itu mengusik firasat Alean untuk semakin waspada. Terlebih beberapa hari terakhir ini ia sudah merasa bahwa suaminya itu agak lain.
Sekarang, kadar pecicilan Segara terasa berkurang. Ia tak lagi sering nyap-nyap sembarangan, menggodai Aleanpun rasanya tidak sekocak dulu. Bahkan kalau Alean tak salah terka, beberapa kali Segara kedapatan sedang melamun. Dan jangan lupa juga, sudah tiga malam berturut-turut pemuda itu tidak minta jatah. Padahal Alean tahu sekali, setiap malam lelaki itu selalu merengek minta anu-anu ria.
"Sebentar aja, Yang. Please..."
"Dua ronde, deh. Nggak apa-apa bukan di kamar juga. Hayuk!"
"Sepuluh menit? Ya? Ya? Ya?"
"Yang, udah nggak tahan banget ini. Sejak kamu hamil, kita nggak pernah sekalipun, lho."
Begitulah kata-kata yang dilemparkan Segara setiap malam. Tetapi memang naas, mau sejumpalitan apapun ia memohon, Alean tak pernah meladeni. Ia selalu mengelak saat Segara mengajaknya berwisata firdaus. Libidonya selalu surut. Hasratnya tak pernah mencuat. Bahkan hanya sekadar endus bibirpun ia segan.
Segara sebenarnya kecewa, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia tahu, hormon wanita hamil terkadang sulit diterka. Antara satu dengan yang lainnya tidak bisa disamakan. Kalau misal wanita lain bisa lebih beringas dalam hal hubungan badan, maka hal itu tidak berlaku pada Alean.
Duh, apes betul! Padahal pesona Alean yang sedang berbadan dua selalu memabukan Segara dari hari ke hari. Bukan saja Alean yang menjadi lebih sering dandan, apa-apa yang nemplok di tubuhnya pun senantiasa membuat si kecil di bawah sana bereaksi. Melihat dada yang lebih padat menantang, menyaksikan perut yang semakin membukit, menatap pinggul dan betis yang lebih menggiurkan, semua itu mengobrak-abrik kejantanan Segara.

KAMU SEDANG MEMBACA
Unread Book
Ficción GeneralUnread Book bukanlah buku biasa. Kemunculannya yang tiba-tiba laksana dinamit tanpa timer. Petir di siang bolong. Tahu bulat lima ratusan. Begitu mendadak! Padahal buku itu hanya berisi tulisan seorang bocah. Mengenai hari-harinya yang datar, jemu...