Unread Book

Bab 13

Hari ini. Aku kembali menginjakkan kaki di Mataram. Hampir empat tahun pergi, segalanya cukup berubah. Kota semakin ramai, mobil mulai lebih sering muncul, dan telepon umum terasa menjamur. Oiya, sebelum merelakan aku pergi, Amak berpesan : "Tengoklah Daddy sesekali di penjara."
.
.
.
.
Hari ini. Aku memutuskan untuk masuk sekolah yang sama dengan Elea. Siapa sangka aku bahkan sekelas dengan dia. Elea cukup berubah. Rambutnya lebih panjang, keramahannya hilang, dan dia sok berkuasa di kelas.

.
.
.
.

Hari ini. Untuk pertamakalinya aku mengenal Eva. Dia baik, tapi...
.
.
.
.

Sejak Pak Mus muncul di daun pintu, semua murid 12 IPA 4 sudah memasang kuda-kuda. Tidak ada lagi yang berani buka suara, kehedonan khas anak SMA pun terinterupsi. Padahal sebelum wali kelas mereka datang, permainan gajah-gajahan sedang berada di titik kulminasi. Begitupun gosip yang dibicarakan siswi-siswi. Dan jangan lupa, buah tidur yang muncul di kubu tukang tidur sedang seru-serunya.

Kini semua badan tegak di bangku masing-masing. Tangan bersidekap di atas meja. Bibir terkatup rapat. Mata menyorot dengan sejuta tanda tanya.

Dari empat puluh murid, hanya Elea yang merasakan jantungnya berdetak dua kali lipat. Bukan saja karena ia akan kena omel Pak Mus lantaran guru biologi tak mau mengajar, laki-laki yang mengikuti wali kelasnya pun sukses menggedor-gedor dada kirinya.

“Silakan kenalkan diri kamu.”

De javu. Itulah yang Elea yakini. Di depan sana, orang yang pernah mengenalkan diri sebagai anak baru nampak mengulangi hal serupa. Ia menyebutkan nama, lengkap dengan asal sekolahnya. Ketika Pak Mus mengulangi namanya dengan sedikit keliru, ketika Pak Mus menanyakan apa arti namanya, dan ketika lelaki itu menjawab bahwa dirinya tidak tahu, semua itu mengembalikan memori empat tahun lalu.

Elea menelan ludah dengan kesusahan. Ia pun tak henti mengucek mata. Barangkali ia keliru. Tapi sampai perih ia menggesek, yang di depannya memang nyata.