Bab 14

2.2K 508 35
                                    

Hari ini. Eva membawakan aku kue lagi. Dia memang luar biasa. Kuenya sangat lezat. Rasanya persis seperti yang dibuat Amak.

.
.
.
.

Hari ini. Semuanya terasa memuakkan. Terutama Elea. Sialan!
.
.
.
.

Sejak Milleo membelanya, tidak ada lagi yang berani megolok-olok Eva. Tidak kelas sebelah, tidak pula teman sekelas. Padahal biasanya, sejak masuk ke dalam gerbang, beberapa orang selalu memperoloknya. Si Cupu, Si Mata Empat, Si Serbasalah, dan sejenisnya. Tidak jarang mereka mengolok sambil memainkan rambutnya yang diikat dua.

Kalau sudah begitu, rasanya Eva benar-benar ingin menangis. Ketika mereka mengolok-olok, ketika mereka membuat lelucon tentang gayanya yang kuno, dan ketika mereka hanya baik kalau ujian, semua itu membuatnya terkukung dalam ketakutan.

Tapi sekarang, semuanya telah berubah. Untuk pertamakalinya ia merasa tenang untuk masuk sekolah. Dan semua itu gara-gara Milleo.

Awalnya Eva tidak menyukai temannya itu. Selain jutek, ia pun malas. Belum lagi tindak-tanduknya kasar. Apa-apa main pukul, apa-apa main fisik. Dulu, saat Milleo memilih duduk di sampingnya, Eva ingin sekali protes. Tapi ia tidak berani. Nanti dikira sombong, egois, dan banyak tingkah. Kalau sudah begitu, teman sekelasnya pasti punya bahan baru untuk mengatainya.

Sekarang Eva yakin Milleo adalah orang baik. Semakin hari ada saja yang membuatnya betah untuk berteman dengan Milleo. Terutama soal obrolan mereka mengenai asal daerah.

“Kamu dari Padang juga?” tanya Milleo sambil mencomot kue yang dibawa Eva dari rumah.

“Saya tinggal di Pekanbaru. Tapi kalau hari raya, selalu ke Padang.”

“Udah lama tinggal di sini?”

“Baru tiga tahun. Ayah ditempatin di perbatasan Selat Lombok makanya saya dan Ibu ikut.”

Milleo mengangguk kemudian meraih lagi kue kering di atas meja. Saat itu ia sengaja melirik ke arah Elea. Dan seperti yang dibayangkan, gadis itu baru saja mengalihkan pandangan.

Milleo merasa puas saat melihat Elea bermuka semasam itu. Dan ia tahu apa alasannya, juga tahu apa yang mesti dilakukan agar ia bisa melihat mimik seperti itu lagi dan lagi.

*
*
*

“Jangan tidur terus dong, Aim.”

Aim. Itu panggilan baru dari Eva. Cuma gadis itu yang memanggilnya demikian. Dan cuma Elea yang benci akan panggilan tersebut.

“Males banget, ah. Ngerjainnya nanti aja di rumah.”

“Kalau bisa dikerjain sekarang, kenapa harus nanti?”

Dari jarak sedekat ini, Elea bisa mendengar obrolan mereka. Dan tanpa sadar Elea menirukan kata-kata Eva yang terakhir. Lengkap dengan mimik muak bercampur jijik.

“Gini aja, deh,” kata Milleo. Entah kenapa suaranya terdengar lebih keras. “Kamu selesaiin dulu punya kamu. Nanti saya lihat.”

“Itu sih, nyontek namanya.”

Unread BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang