Bab 6

2.8K 582 35
                                    

Hari ini. Aku bingung harus menulis apa. Sudah hampir tiga jam aku membuka jurnalnya, tapi yang kulakukan cuma bengong.

Aku tahu, hal ini pasti gara-gara kejadian tadi sore.

De borst

.
.
.
.
.

Menurut Milleo, poin plus kota Mataram hanya terletak di statusnya sebagai pusat  pemerintahan, pendidikan, perdagangan, dan wisata alam. Secara demografi, geografi, dan psikografi, salah satu kota di Pulau Seribu Masjid ini tergolong biasa saja. Belum lagi udara di sini pun terlalu dingin. Dengan suhu rata-rata 21,6 derajat celcius.

Jika dikaitkan dengan tata perkotaan, keadaannya masih melekat dengan adat kental. Mulai dari bangunan kuno peninggalan kerajaan daerah, hingga mobilisasi dan perkembangan telekominikasi yang belum terlalu masif.

Di dalam surat ibunya (yang sebenarnya dikirim dua minggu lalu tapi entah kenapa baru sampai kemarin), disebutkan bahwa telepon umum sudah menyebar luas di Padang. Beda dengan di sini. Hanya pada tempat tertentu sarana komunikasi itu dipasang. Itupun masyarakatnya masih bingung hendak menelpon siapa.

Tetapi heran, dari sekian kekurangan yang rasanya menjengkelkan hati, entah mengapa akhir-akhir ini Milleo tak terlalu mempermasalahkannya. Mungkin karena ia mulai kerasan tinggal di Mataram. Dan hal itu tak jauh dari pengaruh Elea.

Semakin waktu merangkak, semakin dekat pula mereka. Sekar yang semula sentimen terhadap teman adiknya itu kini terpaksa menjilat ludah sendiri. Pasalnya, Milleo bukan saja menunjukkan sikap alim. Ia pun kerap kali membantunya. Seperti, ikut menjaga warungnya kalau berkunjung ke rumah. Bahkan tidak hanya itu. Ketika Sekar mencoba peruntungan dengan membuat jajanan es buah, si Bule itu tidak keberatan untuk menjajakannya dengan cara berkeliling.

"Esnya sisa banyak," keluh Elea sore itu. "Pasti gara-gara hujan."

Milleo mengangguk sambil mengigil. Sejak keduanya pamit berjualan, langit memang tampak mendung. Dan baru sepuluh menit mereka berkeliling, awan langsung menangis secara gila-gilaan. Milleo kira hujan tersebut hanya datang sekelibat makanya ia langsung mengajak Elea berteduh. Tapi sampai mengerut kulit-kulitnya, butiran air yang disertai angin dan jeritan petir itu malah semakin membabi buta.

Elea membuka tutup termos di tangannya, kemudian bergidig ngeri saat mendapati pemandangan di dalam sana. Es-es seharga lima puluh rupiah itu mulai mencair. Potongan pepaya, nanas, serta bengkoang yang melempem menjadi semakin encer dan malah berkumul ke tepi plastik. Hiiy, hanya keajaiban yang bisa membuat es-es ini dibeli orang.

"Kalau nggak ada yang beli, biar Ai yang borong, deh," kecap Milleo seraya menggosok-gosok telapak tangannya.

"Nggak usah," tolak Elea sambil memeriksa lagi isi termos. Kini semua es sudah berubah menjadi air. Potongan buah pun terlihat menggenang di dalam sana. "Siapa juga yang mau makan es benyek kayak gini?"

"Daddy suka, kok."

"Daddy?"

"Ayahnya Ai." Milleo menggigil lagi, mengosok tangannya lagi. "Kebetulan Daddy baru ngasih uang, jadi nggak masalah kalau Ai borong esnya."

Unread BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang